Pengertiankota berdasarkan bidang keilmuan masing-masing. Kota adalah permukiman yang permanen relatif luas, penduduknya padat serta heterogen, dan memiliki organisasi-organisasi politik, ekonomi, agama, dan budaya. 2. Antropologi-sosiologi Masyarakat Agraris/Pedesaan. ï»żMain Article Content Abstract Tujuan penelitian ini berfokus pada konseling agama dengan menggunakan pendekatan budaya dalam membentuk resiliensi remaja. Konseling dapat dicirikan sebagai cara yang paling umum untuk memberikan bantuan kepada klien oleh seorang konselor dengan hubungan yang bersifat individu ke individu, meskipun mempengaruhi lebih dari satu individu. Penelitian ini menggunakan jenis/metode penelitian berupa studi kepustakaan Library Research yang memiliki relavansi mengenai konseling agama pendekatan budaya dalam membentuk resiliensi remaja. Tujuan konseling budaya memiliki beberapa tindakan dalam konseling yaitu pertama, konseling dapat membuat konselor peka terhadap masalah lingkungan yang mempengaruhi perkembangan manusia. Kedua, profesi konseling mengharuskan konselor memiliki pengetehuan dan keterampilan. Konseling agama merupakan bantuan dari konselor untuk membantu klien membangkitkan ajaran agamanya untuk menyelesaikan segala permasalahan hidup yang dihadapi dengan cara-cara yang dibenarkan menurut agama dan keyakinannya. Keywords Konseling Agama Budaya Resiliensi Ramaja Article Details License Authors who publish in this journal agree with the following termsAuthors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike CC BY-SA that allows others to share the work with an acknowledgement of the work's authorship and initial publication in this are able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journal's published version of the work post it to an institutional repository or publish it in a book, with an acknowledgement of its initial publication in this are permitted and encouraged to post their work online in institutional repositories or on their website prior to and during the submission process, as it can lead to productive exchanges, as well as earlier and greater citation of published work See The Effect of Open Access.This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike International License. How to Cite NELISMA, Y., Fitriani, W., & Silvianetri, S. 2022. Konseling Agama Dengan Pendekatan Budaya Dalam Membentuk Resiliensi Remaja. Consilia Jurnal Ilmiah Bimbingan Dan Konseling, 51, 66–76. References Awad, F. B. 2015. KonselingIslam dalamMasyarakat Multikultural. Zawiyah Jurnal Pemikiran Islam. Desmita, D. 2009. MENGEMBANGKAN RESILIENSI REMAJA DALAM UPAYA MENGATASI STRES SEKOLAH. Ta’dib. Farikhatul ’Ubudiyah. 2020. Konseling Melalui Meditasi Lintas Agama di Vihara Karangdjati Yogyakarta. Al-Irsyad Jurnal Bimbingan Konseling Islam. Firman. 2017. Peran Antropologi dalam Konseling Lintas Budaya di Era Masyarakat Ekonomi Asean MEA. Prosiding Seminar Konseling 2017 Profesi Konseling Menuju Masyarakat Ekonomi Asean. Ganesan. 2016. Akhbar Tamil Nesan dan peranannya dalam perkembangan pendidikan Tamil di Tanah Melayu. Jurnal Penyelidikan Dedikasi. Hermansyah, M. T., & Hadjam, M. R. 2020. RESILIENSI PADA REMAJA YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANG TUA STUDI LITERATUR. MOTIVA JURNAL PSIKOLOGI. Irman, I., Murisal, M., Syafwar, F., Silvianetri, S., Zubaidah, Z., & Yeni, P. 2020. Membangun Kesadaran Spritual melalui Konseling Berbasis Surau dalam Pengembangan Pariwisata. Islamic Counseling Jurnal Bimbingan Konseling Islam. Mahfuz, A. G. 2019. Hubungan Agama dan Budaya. Sosial Keagamaan Dan Pendidikan Islam. Mirnawati 2016. Simbol Mitologi Dalam Karya Sastra Teks Al-Barzanji; Analisis Semiotika Roland Barthes Pada Pasal 4. Jurnal Diskursus Islam UIN Alauddin Makasar. Nashihin, H. 2017. Pengertian Budaya. Konstruksi Budaya Sekolah Sebagai Wadah Internalisasi Nilai Karakter. Resiliensi pada Remaja Jawa. 2015. Jurnal Psikologi UGM. Rofiqi, M. A. 2019. RELEVANSI AGAMA DAN SPIRITUAL DALAM KONSELING. JCOSE Jurnal Bimbingan Dan Konseling. Sunarti, E., Islamia, I., Rochimah, N., & Ulfa, M. 2017. Pengaruh Faktor Ekologi Terhadap Resiliensi Remaja. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Sunarti, E., Islamia, I., Rochimah, N., & Ulfa, M. 2018. Resiliensi Remaja Perbedaan Berdasarkan Wilayah, Kemiskinan, Jenis Kelamin, dan Jenis Sekolah. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Supriatna, E. 2019. Islam dan Kebudayaan. Jurnal Soshum Insentif. Thabroni, G. 2020. Pengertian Budaya, Unsur, Wujud & Fungsi Menurut Para k. Wati, W., & Silvianetri, S. 2018. PENGARUH KONSELING ISLAM DALAM MENINGKATKAN KESADARAN SHOLAT BERJAMAAH SISWA. Alfuad Jurnal Sosial Keagamaan. Awad, F. B. 2015. KonselingIslam dalamMasyarakat Multikultural. Zawiyah Jurnal Pemikiran Islam. Desmita, D. 2009. MENGEMBANGKAN RESILIENSI REMAJA DALAM UPAYA MENGATASI STRES SEKOLAH. Ta’dib. Farikhatul ’Ubudiyah. 2020. Konseling Melalui Meditasi Lintas Agama di Vihara Karangdjati Yogyakarta. Al-Irsyad Jurnal Bimbingan Konseling Islam. Firman. 2017. Peran Antropologi dalam Konseling Lintas Budaya di Era Masyarakat Ekonomi Asean MEA. Prosiding Seminar Konseling 2017 Profesi Konseling Menuju Masyarakat Ekonomi Asean. Ganesan. 2016. Akhbar Tamil Nesan dan peranannya dalam perkembangan pendidikan Tamil di Tanah Melayu. Jurnal Penyelidikan Dedikasi. Hermansyah, M. T., & Hadjam, M. R. 2020. RESILIENSI PADA REMAJA YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANG TUA STUDI LITERATUR. MOTIVA JURNAL PSIKOLOGI. Irman, I., Murisal, M., Syafwar, F., Silvianetri, S., Zubaidah, Z., & Yeni, P. 2020. Membangun Kesadaran Spritual melalui Konseling Berbasis Surau dalam Pengembangan Pariwisata. Islamic Counseling Jurnal Bimbingan Konseling Islam. Mahfuz, A. G. 2019. Hubungan Agama dan Budaya. Sosial Keagamaan Dan Pendidikan Islam. Mirnawati 2016. Simbol Mitologi Dalam Karya Sastra Teks Al-Barzanji; Analisis Semiotika Roland Barthes Pada Pasal 4. Jurnal Diskursus Islam UIN Alauddin Makasar. Nashihin, H. 2017. Pengertian Budaya. Konstruksi Budaya Sekolah Sebagai Wadah Internalisasi Nilai Karakter. Resiliensi pada Remaja Jawa. 2015. Jurnal Psikologi UGM. Rofiqi, M. A. 2019. RELEVANSI AGAMA DAN SPIRITUAL DALAM KONSELING. JCOSE Jurnal Bimbingan Dan Konseling. Sunarti, E., Islamia, I., Rochimah, N., & Ulfa, M. 2017. Pengaruh Faktor Ekologi Terhadap Resiliensi Remaja. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Sunarti, E., Islamia, I., Rochimah, N., & Ulfa, M. 2018. Resiliensi Remaja Perbedaan Berdasarkan Wilayah, Kemiskinan, Jenis Kelamin, dan Jenis Sekolah. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Supriatna, E. 2019. Islam dan Kebudayaan. Jurnal Soshum Insentif. Thabroni, G. 2020. Pengertian Budaya, Unsur, Wujud & Fungsi Menurut Para k. Wati, W., & Silvianetri, S. 2018. PENGARUH KONSELING ISLAM DALAM MENINGKATKAN KESADARAN SHOLAT BERJAMAAH SISWA. Alfuad Jurnal Sosial Keagamaan. References Awad, F. B. 2015. KonselingIslam dalamMasyarakat Multikultural. Zawiyah Jurnal Pemikiran Islam. Desmita, D. 2009. MENGEMBANGKAN RESILIENSI REMAJA DALAM UPAYA MENGATASI STRES SEKOLAH. Ta’dib. Farikhatul ’Ubudiyah. 2020. Konseling Melalui Meditasi Lintas Agama di Vihara Karangdjati Yogyakarta. Al-Irsyad Jurnal Bimbingan Konseling Islam. Firman. 2017. Peran Antropologi dalam Konseling Lintas Budaya di Era Masyarakat Ekonomi Asean MEA. Prosiding Seminar Konseling 2017 Profesi Konseling Menuju Masyarakat Ekonomi Asean. Ganesan. 2016. Akhbar Tamil Nesan dan peranannya dalam perkembangan pendidikan Tamil di Tanah Melayu. Jurnal Penyelidikan Dedikasi. Hermansyah, M. T., & Hadjam, M. R. 2020. RESILIENSI PADA REMAJA YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANG TUA STUDI LITERATUR. MOTIVA JURNAL PSIKOLOGI. Irman, I., Murisal, M., Syafwar, F., Silvianetri, S., Zubaidah, Z., & Yeni, P. 2020. Membangun Kesadaran Spritual melalui Konseling Berbasis Surau dalam Pengembangan Pariwisata. Islamic Counseling Jurnal Bimbingan Konseling Islam. Mahfuz, A. G. 2019. Hubungan Agama dan Budaya. Sosial Keagamaan Dan Pendidikan Islam. Mirnawati 2016. Simbol Mitologi Dalam Karya Sastra Teks Al-Barzanji; Analisis Semiotika Roland Barthes Pada Pasal 4. Jurnal Diskursus Islam UIN Alauddin Makasar. Nashihin, H. 2017. Pengertian Budaya. Konstruksi Budaya Sekolah Sebagai Wadah Internalisasi Nilai Karakter. Resiliensi pada Remaja Jawa. 2015. Jurnal Psikologi UGM. Rofiqi, M. A. 2019. RELEVANSI AGAMA DAN SPIRITUAL DALAM KONSELING. JCOSE Jurnal Bimbingan Dan Konseling. Sunarti, E., Islamia, I., Rochimah, N., & Ulfa, M. 2017. Pengaruh Faktor Ekologi Terhadap Resiliensi Remaja. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Sunarti, E., Islamia, I., Rochimah, N., & Ulfa, M. 2018. Resiliensi Remaja Perbedaan Berdasarkan Wilayah, Kemiskinan, Jenis Kelamin, dan Jenis Sekolah. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Supriatna, E. 2019. Islam dan Kebudayaan. Jurnal Soshum Insentif. Thabroni, G. 2020. Pengertian Budaya, Unsur, Wujud & Fungsi Menurut Para k. Wati, W., & Silvianetri, S. 2018. PENGARUH KONSELING ISLAM DALAM MENINGKATKAN KESADARAN SHOLAT BERJAMAAH SISWA. Alfuad Jurnal Sosial Keagamaan. Awad, F. B. 2015. KonselingIslam dalamMasyarakat Multikultural. Zawiyah Jurnal Pemikiran Islam. Desmita, D. 2009. MENGEMBANGKAN RESILIENSI REMAJA DALAM UPAYA MENGATASI STRES SEKOLAH. Ta’dib. Farikhatul ’Ubudiyah. 2020. Konseling Melalui Meditasi Lintas Agama di Vihara Karangdjati Yogyakarta. Al-Irsyad Jurnal Bimbingan Konseling Islam. Firman. 2017. Peran Antropologi dalam Konseling Lintas Budaya di Era Masyarakat Ekonomi Asean MEA. Prosiding Seminar Konseling 2017 Profesi Konseling Menuju Masyarakat Ekonomi Asean. Ganesan. 2016. Akhbar Tamil Nesan dan peranannya dalam perkembangan pendidikan Tamil di Tanah Melayu. Jurnal Penyelidikan Dedikasi. Hermansyah, M. T., & Hadjam, M. R. 2020. RESILIENSI PADA REMAJA YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANG TUA STUDI LITERATUR. MOTIVA JURNAL PSIKOLOGI. Irman, I., Murisal, M., Syafwar, F., Silvianetri, S., Zubaidah, Z., & Yeni, P. 2020. Membangun Kesadaran Spritual melalui Konseling Berbasis Surau dalam Pengembangan Pariwisata. Islamic Counseling Jurnal Bimbingan Konseling Islam. Mahfuz, A. G. 2019. Hubungan Agama dan Budaya. Sosial Keagamaan Dan Pendidikan Islam. Mirnawati 2016. Simbol Mitologi Dalam Karya Sastra Teks Al-Barzanji; Analisis Semiotika Roland Barthes Pada Pasal 4. Jurnal Diskursus Islam UIN Alauddin Makasar. Nashihin, H. 2017. Pengertian Budaya. Konstruksi Budaya Sekolah Sebagai Wadah Internalisasi Nilai Karakter. Resiliensi pada Remaja Jawa. 2015. Jurnal Psikologi UGM. Rofiqi, M. A. 2019. RELEVANSI AGAMA DAN SPIRITUAL DALAM KONSELING. JCOSE Jurnal Bimbingan Dan Konseling. Sunarti, E., Islamia, I., Rochimah, N., & Ulfa, M. 2017. Pengaruh Faktor Ekologi Terhadap Resiliensi Remaja. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Sunarti, E., Islamia, I., Rochimah, N., & Ulfa, M. 2018. Resiliensi Remaja Perbedaan Berdasarkan Wilayah, Kemiskinan, Jenis Kelamin, dan Jenis Sekolah. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen. Supriatna, E. 2019. Islam dan Kebudayaan. Jurnal Soshum Insentif. Thabroni, G. 2020. Pengertian Budaya, Unsur, Wujud & Fungsi Menurut Para k. Wati, W., & Silvianetri, S. 2018. PENGARUH KONSELING ISLAM DALAM MENINGKATKAN KESADARAN SHOLAT BERJAMAAH SISWA. Alfuad Jurnal Sosial Keagamaan.
Faktorlingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa
Corps de l’article Si l’école nourrit [
] l’élĂšve de culture, c’est pour lui permettre de s’adapter et de s’insĂ©rer plus rapidement dans ce monde,monde d’une extrĂȘme complexitĂ© oĂč il lui faut vivre. Mais c’est aussi pour qu’il assimile cette culture, pour qu’il construise par elle une identitĂ© intellectuelle et personnelle afin qu’à partir de cette base il soit Ă  son tour innovateur et mĂȘme crĂ©ateur. Rapport Corbo, 1994, p. 15 L’éducation est une voie privilĂ©giĂ©e de transmission et d’épanouissement de la culture d’un peuple comme d’un individu, et l’école demeure la premiĂšre institution sociale dont la mission est l’éducation. L’éducation, en favorisant notamment le dialogue entre quĂȘte de sens et construction des savoirs, se doit de procurer Ă  l’élĂšve des outils et des langages pour comprendre le monde et se comprendre dans le monde Simard, 2002a, p. 72. C’est cette perspective culturelle qui anime l’actuelle rĂ©forme en Ă©ducation au QuĂ©bec. RĂ©affirmer l’école dans sa finalitĂ© culturelle en plus de ses finalitĂ©s utilitaire et cognitive, comme l’affirmait le Rapport InchauspĂ© 1997, Ă  la suite des États gĂ©nĂ©raux sur l’éducation de 1996, est devenu une prioritĂ© en cette Ă©poque oĂč dĂ©ferlent sur notre monde la pensĂ©e unique et la gĂ©nĂ©ralisation de la culture MacDo ou MacWorld Ă  la vitesse de la mondialisation du systĂšme de marchĂ© Aktouf, 1999. S’appuyant sur ce rapport, le ministĂšre de l’Éducation du QuĂ©bec, dans son document L’école tout un programme Ă©noncĂ© de politique Ă©ducative ministĂšre de l’Éducation du QuĂ©bec – MÉQ, 1997, statuait sur l’extrĂȘme urgence de rehausser la dimension culturelle des programmes de formation, principalement dans les disciplines, et de favoriser une approche culturelle pour enseigner ces disciplines. Les orientations du Programme de formation de l’école quĂ©bĂ©coise, tant Ă  l’ordre du primaire que du secondaire MÉQ, 2001a et 2003, prĂ©conisent l’ancrage culturel dans les apprentissages rĂ©alisĂ©s par l’élĂšve afin d’élargir sa vision du monde, de structurer son identitĂ© et de dĂ©velopper son pouvoir d’action. La volontĂ© ministĂ©rielle de renforcer les liens entre Ă©ducation et culture, de rĂ©habiliter le rĂŽle des savoirs, voire des diverses disciplines dans une perspective culturelle, est tout Ă  fait pertinente. L’élĂšve, dans son parcours de formation, sera conviĂ© aux grands univers de la connaissance et de la culture ; ces savoirs essentiels que sont les langues, le champ de la technologie, de la science et des mathĂ©matiques, l’univers social, les arts et le dĂ©veloppement personnel, constituent un ensemble de connaissances et de pratiques, formant le noyau de la culture. Rappelons-le, la perspective culturelle conçoit la formation d’abord, comme l’appropriation, par les nouvelles gĂ©nĂ©rations, des savoirs de la culture, qui constituent le propre de l’ĂȘtre humain et qui sont l’essence du monde oĂč il faut vivre, monde qui n’est plus naturel mais culturel Rapport InchauspĂ©, 1997, p. 25. Cela semble primordial dans une sociĂ©tĂ© oĂč la jeunesse, privĂ©e de son passĂ© et en mal d’avenir a tendance, comme dans la plupart des sociĂ©tĂ©s occidentales, Ă  vivre au prĂ©sent. À la lumiĂšre de plusieurs auteurs Bruner, 1991, 1996 ; Dumont, 1968 ; Simard, 2002a, avoir une approche culturelle de l’enseignement signifierait se prĂ©occuper d’une appropriation personnelle et significative des savoirs par l’élĂšve, situer les savoirs dans le contexte historique, social et culturel de leur Ă©laboration tout en instaurant des liens avec la culture premiĂšre de l’élĂšve – avec la diversitĂ©, voire la disparitĂ© qu’on connaĂźt, tant du point de vue du profil culturel des jeunes que de la profusion des lieux de savoir et de la puissance des technologies de communication –, provoquer chez l’élĂšve une prise de conscience de sa propre culture tout en prenant du recul pour mieux la comprendre et s’ouvrir Ă  soi, aux autres et au monde. Il en rĂ©sultera une Ă©volution de ses propres reprĂ©sentations et de ses savoirs, ferments d’une culture en devenir. Un des mandats de l’éducation se dessine donc ainsi mettre en oeuvre des conditions qui permettent aux Ă©lĂšves de s’approprier, d’intĂ©grer et d’organiser les connaissances en un tout cohĂ©rent, original et personnel, de se situer au sein des problĂšmes et des rĂ©alitĂ©s complexes de son temps, dans son identitĂ© humaine et dans l’histoire Simard, 2002a, p. 77. L’approche culturelle de l’enseignement touche certes les Ă©lĂšves, mais aussi, de maniĂšre complexe et profonde, les enseignants, qui doivent s’inscrire dans un rapport vivant Ă  la culture et un rĂ©investissement historique, social et culturel des savoirs scolaires. Par le fait mĂȘme, la formation initiale et continue des enseignants s’en trouve influencĂ©e dans ses programmes et ses activitĂ©s Sorin et Lafortune, 2006. C’est pourquoi le Gouvernement du QuĂ©bec a publiĂ© tour Ă  tour son document La formation Ă  l’enseignement. Les orientations. Les compĂ©tences professionnelles MÉQ, 2001b, en vigueur depuis dans les universitĂ©s quĂ©bĂ©coises, et celui Ă  l’intention du personnel enseignant, signĂ© conjointement avec le ministĂšre de la Culture et des Communications, L’intĂ©gration de la dimension culturelle Ă  l’école MÉQ et MCC, 2003. Dans cette perspective, l’enseignante ou l’enseignant devient un passeur culturel, selon l’expression maintenant consacrĂ©e de Zakhartchouk 1999, p. 20, passeur dans le sens oĂč il va accompagner l’élĂšve dans ce voyage de sa culture premiĂšre vers une culture » qui vaut la peine », une culture dans laquelle il se doit d’ĂȘtre plongĂ©, bien que le voyage soit une occasion d’aller plus loin. Passeur cultivĂ© » s’il veut ĂȘtre culturel », et cultivĂ© » en particulier dans son domaine spĂ©cifique, celui de la pĂ©dagogie, sans laquelle il ne peut y avoir de passage » pour tous. Pour que ce passage culturel Ă  l’école ait vĂ©ritablement lieu, les conditions Ă  rĂ©unir pour une formation adĂ©quate relĂšveraient de trois grands axes Zakhartchouk, 1999, p. 112 un travail sur le rapport personnel Ă  la culture de chaque enseignant ou futur enseignant, point d’appui et passage obligĂ© pour une formation culturelle des Ă©lĂšves ; une intĂ©gration de la rĂ©flexion sur la culture dans toute formation, notamment disciplinaire ; la mise en place d’une articulation entre apprentissage de techniques pĂ©dagogiques et formation culturelle. Dans ce contexte de rĂ©forme et de discours officiel sur l’enrichissement culturel prĂŽnĂ© Ă  l’école, cette question de la culture, que ce soit au sujet de sa dĂ©finition, de son acquisition par les Ă©lĂšves, des approches pĂ©dagogiques, de la formation Ă  l’enseignement, etc., alimente la rĂ©flexion des chercheurs Simard, 2001, 2002b. On en veut Ă©galement pour preuve l’ouvrage collectif dirigĂ© par Simard et Mellouki 2005 ou un numĂ©ro thĂ©matique de la Revue des sciences de l’éducation Enseignement et cultures », dirigĂ© par Tardif et Mujawamariya 2002 oĂč Gohier, notamment, apprĂ©hende l’enseignant Ă  la fois comme passeur, mĂ©diateur et lieu, et oĂč Saint-Jacques, ChenĂ©, Lessard et Riopel ont investiguĂ© les reprĂ©sentations qu’ont les enseignants du primaire de la dimension culturelle du curriculum. En 2001, dans le n° 118, la revue Vie pĂ©dagogique prĂ©sentait un dossier sur la question Enseigner et apprendre selon une perspective culturelle » et des chercheurs, tel Simard 2005, se sont penchĂ©s sur le rĂŽle de l’école envers la formation culturelle des Ă©lĂšves. Toutefois, si chaque discipline est porteuse de culture autant par son histoire que par les questionnements qu’elle suscite, c’est le français, qui attire notre attention ici, Ă  la fois comme culture de la langue Chartrand, 2005 et comme culture littĂ©raire, sans exclure bien sĂ»r le fait que la classe de français est Ă©galement un lieu de convergence d’autres disciplines, les arts, l’histoire et la gĂ©ographie, pour ne nommer que celles-ci. Par ailleurs, depuis quelques annĂ©es, l’approche culturelle en enseignement du français est devenue elle-mĂȘme objet d’études Simard, 2004 ; Simard et CĂŽtĂ©, 2005 et on commence Ă  publier des ouvrages au service de la pratique enseignante tel ce Guide du passeur culturel dirigĂ© par Boucher et Pilote 2006. Si la dimension culturelle est au coeur de la rĂ©forme scolaire actuelle au QuĂ©bec, avec cette idĂ©e porteuse que la culture n’est pas le seul fief de la littĂ©rature et des arts, mais qu’elle est aussi scientifique, mathĂ©matique, informatique et autres, elle reprĂ©sente Ă©galement une prĂ©occupation majeure en France, comme le prouve le rĂ©cent DĂ©cret relatif au socle commun de compĂ©tences et de connaissances ministĂšre de l’Éducation nationale, de l’Enseignement supĂ©rieur et de la Recherche, 2006. Ce dĂ©cret fixe les repĂšres culturels et civiques qui constituent le contenu de l’enseignement obligatoire, ce socle commun devenant la rĂ©fĂ©rence obligĂ©e pour la rĂ©daction des programmes d’enseignement de l’école et du collĂšge ordres du primaire et du secondaire. Outre les compĂ©tences liĂ©es Ă  la culture scientifique et technologique, Ă  la culture numĂ©rique, etc., une des sept compĂ©tences y cible expressĂ©ment le dĂ©veloppement d’une culture humaniste fondĂ©e notamment sur la frĂ©quentation des oeuvres littĂ©raires, les apports de l’éducation artistique et culturelle, et l’acquisition de repĂšres gĂ©ographiques et historiques communs. DĂ©jĂ , au plan institutionnel, l’inscription explicite de la littĂ©rature au programme dĂšs l’école Ă©lĂ©mentaire, en 2002, et l’encouragement Ă  la mĂȘme Ă©poque des projets artistiques et culturels sous le ministĂšre de Jack Lang, manifestaient la volontĂ© d’un partage gĂ©nĂ©ralisĂ© des biens culturels disponibles et de leurs bĂ©nĂ©fices tant individuels que collectifs tout au long du cursus scolaire. Par ailleurs, du point de vue de la recherche, tant au QuĂ©bec qu’en France et plus largement en Europe francophone, l’évolution des rĂ©fĂ©rences thĂ©oriques dominantes, autrement dit le dĂ©placement de l’attention portĂ©e au texte vers le sujet lecteur l’approche formaliste versus l’esthĂ©tique de la rĂ©ception sur les traces d’Iser, Jauss, Eco a ouvert tout un nouvel horizon de recherches en didactique du français qui se focalise principalement sur la lecture littĂ©raire Dufays, Gemenne et Ledur, 2005 ; Falardeau, 2003 ; Lebrun, 2006 ; Poslaniec, 2002 ; Sorin, 2003, 2004 ; Tauveron, 2001, 2004 ; Tauveron et Reuter, 1996. La lecture littĂ©raire dĂ©signe aujourd’hui un mode de lecture particulier engendrĂ© par un va-et-vient dialectique entre une lecture participative privilĂ©giant la construction rĂ©fĂ©rentielle et l’implication psychoaffective et Ă©motionnelle du lecteur, et une posture plus distanciĂ©e par rapport au texte, ouvrant au symbolisme, aux liens intertextuels, aux jeux des implicites et favorisant la pluralitĂ© des lectures. La transposition de la lecture littĂ©raire dans le cadre de l’enseignement devrait notamment aboutir Ă  la prise en compte de la culture privĂ©e de l’élĂšve quand il s’agit de la lecture des textes littĂ©raires proposĂ©s par l’école, et plus prĂ©cisĂ©ment Ă  la prise en compte des maniĂšres individuelles de lire, parfois Ă©loignĂ©es de celles visĂ©es par l’école. Un ouvrage comme celui qu’ont coordonnĂ© Demougin et Massol 1999 fait apparaĂźtre Ă  la fois la nĂ©cessitĂ© et l’application limitĂ©e de cette prise en compte dans l’ordinaire des classes. L’ouvrage dirigĂ© par Rouxel et Langlade 2004, axĂ© sur le sujet lecteur, est significatif du dĂ©sir des chercheurs/formateurs de promouvoir ce basculement de perspective au sein de l’école, pour servir l’intĂ©rĂȘt des Ă©lĂšves. Du cĂŽtĂ© de la sociologie, les travaux de Lahire 2004, qui rĂ©pondent Ă  ceux de Pierre Bourdieu, et la notion qu’il dĂ©veloppe de dissonance, montre la diversitĂ© des pratiques culturelles de tout individu tant en ce qui concerne les objets retenus que les usages qu’il en fait et questionnent un clivage parfois convenu et un peu forcĂ© entre les pratiques des nantis, d’un cĂŽtĂ©, et celles des classes dominĂ©es, de l’autre. Cette perspective autorise en tout cas Ă  relativiser l’opposition entre la rĂ©ception qu’ont les uns et les autres des objets culturels disponibles il n’y a pas, de façon tranchĂ©e, les avertis d’un cĂŽtĂ© et les naĂŻfs de l’autre en matiĂšre de consommation/appropriation culturelles, mĂȘme si la distinction entre production culturelle de masse et production culturelle savante ou lĂ©gitime perdure. L’école est donc bien le lieu oĂč mettre au jour ces conflits culturels qui se jouent chez tout individu, et auxquels elle contribue largement. Dans le domaine spĂ©cifique de la lecture littĂ©raire, elle doit amener les Ă©lĂšves Ă  la conscientisation de la diversitĂ© des postures, et expliciter clairement celles qu’elle prĂ©conise et valorise, tout en continuant de s’interroger sur le bien fondĂ© de ces attentes institutionnelles. Ce numĂ©ro thĂ©matique explore diverses perspectives didactiques, tant au QuĂ©bec qu’en France, prenant en compte une approche culturelle en enseignement du français. On a affaire Ă  une diversitĂ© d’approches certaines problĂ©matisent clairement la question de l’altĂ©ritĂ© culturelle Ă  laquelle l’école confronte les Ă©lĂšves ; d’autres s’appuient davantage sur des observations prĂ©cises qui permettent de soulever divers problĂšmes liĂ©s Ă  la mise en oeuvre d’un vĂ©ritable dialogue, d’une vĂ©ritable intercomprĂ©hension entre pairs mais aussi entre l’enseignant et les Ă©lĂšves, chacun parlant Ă  partir d’entours qui lui sont propres ; d’autres enfin avancent des propositions concrĂštes Ă©prouvĂ©es dans des classes. Si les programmes scolaires et les orientations didactiques et pĂ©dagogiques fixĂ©s par les gouvernements diffĂšrent d’un pays Ă  l’autre, si l’importance accordĂ©e Ă  la culture se distingue pour des raisons Ă  la fois historiques, politiques et Ă©conomiques, on ne peut que tirer profit d’une approche comparĂ©e en matiĂšre d’enseignement du français, langue nationale, de modĂšles pĂ©dagogiques et de contenus de formation. Ce numĂ©ro thĂ©matique tente de crĂ©er un espace transactionnel entre les diverses problĂ©matiques en didactique du français touchant la mise en oeuvre de l’approche culturelle de l’enseignement, dix ans aprĂšs la tenue des États gĂ©nĂ©raux sur l’éducation de 1996, non pas pour en faire un bilan, mais bien pour en dĂ©gager de nouvelles perspectives. Ce numĂ©ro explore deux grandes problĂ©matiques constituant les deux grandes parties de l’ouvrage. Dans la premiĂšre partie, ont Ă©tĂ© regroupĂ©es les problĂ©matiques liĂ©es Ă  l’approche culturelle en formation Ă  l’enseignement signification d’une approche culturelle de l’enseignement ; conscience de l’enseignant et de son rĂŽle dans l’appropriation de la culture par ses Ă©lĂšves ; conceptualisation de la culture ; significations d’une approche culturelle appliquĂ©e Ă  la discipline français, etc. Denis Simard, Érick Falardeau, Judith Émery-Bruneau et HĂ©loĂŻse CĂŽtĂ© ont tentĂ© de saisir le rapport que les enseignants entretiennent avec le savoir et la culture, rapport qu’ils considĂšrent prĂ©alable Ă  une approche culturelle de l’enseignement. S’inspirant des travaux de Charlot 1997 sur le rapport au savoir et des rĂ©sultats d’une recherche menĂ©e auprĂšs de 35 Ă©tudiants de deuxiĂšme annĂ©e en formation Ă  l’enseignement du français, ils ont mis Ă  jour quatre profils de ce rapport Ă  la culture susceptibles d’inspirer de nouvelles avenues en formation des enseignants Ă  l’égard de l’approche culturelle de l’enseignement. Dans le cadre d’un projet d’innovation pĂ©dagogique, Sylvain Manseau et Olivier Dezutter justifient l’instauration d’une nouvelle activitĂ©, Enseigner dans une perspec-tive culturelle, dĂ©sormais inscrite au programme de baccalaurĂ©at en enseignement au secondaire de l’UniversitĂ© de Sherbrooke. Cette nouvelle activitĂ© vise notamment l’intĂ©gration des savoirs et la concrĂ©tisation de ce que pourrait ĂȘtre une approche culturelle de l’enseignement. Si Saint-Jacques, ChenĂ©, Lessard et Riopel 2002 se sont attardĂ©s aux reprĂ©sentations que se font les enseignants du primaire de la dimension culturelle du curriculum, Liliane Portelance rend plutĂŽt compte des savoirs partagĂ©s par l’enseignante associĂ©e et la stagiaire au sujet de la culture et de l’approche culturelle. Si les significations diffĂšrent, il y a toutefois consensus sur l’évidence de la dimension culturelle de l’école et sur l’importance de privilĂ©gier une approche culturelle dans les apprentissages comme soutien essentiel Ă  la construction des savoirs et au dĂ©veloppement des compĂ©tences, notamment disciplinaires. Sans ĂȘtre situĂ©e en formation Ă  l’enseignement, la recherche de R’Kia Laroui sur les reprĂ©sentations que se font les enseignants de l’approche culturelle ainsi que sur l’impact de ces reprĂ©sentations sur leurs pratiques conduit Ă  des constats riches d’enseignements qui pourraient alimenter la rĂ©flexion sur la formation tant initiale que continue des enseignants afin qu’ils deviennent vĂ©ritablement des passeurs culturels. Partant du principe que les enseignants seront pour les Ă©lĂšves Ă  la fois des modĂšles linguistiques et des mĂ©diateurs culturels, Martine Mottet et Flore Gervais interrogent les reprĂ©sentations et les rĂ©actions affectives de futurs enseignants du baccalaurĂ©at en Ă©ducation prĂ©scolaire et enseignement primaire Ă  l’égard du français quĂ©bĂ©cois oral standard, de la culture et de la didactique de l’oral. De la comparaison des rĂ©sultats avec le profil de l’enseignant cultivĂ© en français oral qu’elles ont tracĂ©, les deux chercheures ont tirĂ© quelques conclusions pertinentes Ă  la formation Ă  l’enseignement, notamment en regard de la langue parlĂ©e, ses particularitĂ©s par rapport Ă  l’écrit, ses registres, son histoire, sa didactique. Elles souscrivent en cela Ă  la culture de la langue. La deuxiĂšme partie de ce numĂ©ro thĂ©matique traite plutĂŽt de la prise en compte de l’approche culturelle en classe de français ou de littĂ©rature. Les problĂ©matiques abordĂ©es sont soit liĂ©es Ă  l’élĂšve culture privĂ©e, culture scolaire ; culture de la langue ; contexte d’immigration et multiculturalisme ; le lecteur comme ĂȘtre de culture ; soit liĂ©es Ă  l’intervention Ă©ducative, l’enseignant devant mettre en contexte cette approche culturelle en interpellant son implication comme passeur culturel et en entrevoyant la classe comme une communautĂ© de lecteurs et d’auteurs ou comme communautĂ© interprĂ©tative. Danielle Dubois Marcoin se prĂ©occupe de la fonction d’acculturation de l’école et de la nĂ©cessaire prise en considĂ©ration, dans le cadre d’une Ă©ducation Ă  la littĂ©rature, des habitus et des rĂ©fĂ©rents culturels des Ă©lĂšves. C’est par des propositions dialogiques entre la culture privĂ©e et la culture scolaire par l’entremise d’activitĂ©s crĂ©atives personnelles et impliquĂ©es que les Ă©lĂšves s’approprieront cette culture nouvelle que leur propose l’école. MarlĂšne Lebrun s’intĂ©resse Ă  l’élaboration d’une approche culturelle de la littĂ©rature en classe de français au primaire en tablant particuliĂšrement sur le dialogue qui s’installe dans la communautĂ© de lecteurs et d’auteurs que constitue une classe. Elle a notamment investiguĂ© les reprĂ©sentations que se font les Ă©lĂšves de l’activitĂ© d’écriture, de son apprentissage et des pratiques littĂ©raires qui lui sont associĂ©es, telle la lecture littĂ©raire. Dans son contexte de recherche, elle Ă©tablit que l’évolution d’un rapport positif Ă  l’écriture littĂ©raire d’élĂšves de 10 ans va de pair avec la construction d’une posture auctoriale et une certaine ouverture Ă  la culture. Patrick Demougin montre comment l’enseignement de la littĂ©rature a basculĂ© d’une perspective linguistique centrĂ©e sur le texte vers une perspective anthropologique davantage centrĂ©e sur le lecteur comme ĂȘtre de culture. Il assimile la rencontre des Ă©lĂšves avec la littĂ©rature Ă  la crise fondatrice liĂ©e Ă  l’expĂ©rience de l’altĂ©ritĂ© en matiĂšre de langue et de culture qu’ont vĂ©cue et dĂ©crite Derrida et Khatibi Derrida, 1996. À partir de deux expĂ©riences, l’auteur fait apparaĂźtre deux risques en enseignement de la littĂ©rature l’instrumentalisation et le dĂ©sengagement du lecteur. Amener les Ă©lĂšves Ă  avoir prise sur l’altĂ©ritĂ© culturelle Ă  laquelle on les confronte, en maintenant la tension entre sensible et conceptuel, exige l’implication individuelle de l’enseignant en matiĂšre de choix des textes et engage son inventivitĂ© professionnelle. L’analyse du travail d’enseignants en français, langue de scolarisation, auprĂšs d’élĂšves nouveaux arrivants en France, du CP 1re annĂ©e du primaire au CM2 fin du primaire, permet Ă  Sylvie Courally de mettre en Ă©vidence qu’en l’absence de prescriptions ministĂ©rielles, face Ă  l’hĂ©tĂ©rogĂ©nĂ©itĂ© de leur public et privĂ©s de matĂ©riel adaptĂ© Ă  ces Ă©lĂšves dans le domaine de l’acquisition de la langue et de la culture de l’écrit, les enseignants trouvent des compromis. Contraints par l’urgence d’amener chacun Ă  une maĂźtrise premiĂšre de la langue, ils s’appuient essentiellement sur des textes fonctionnels et communicationnels ou sur la transcription d’un oral surnormĂ©, ce qui les conduit Ă  dĂ©laisser largement la dimension culturelle de la langue, voire la littĂ©rature. AprĂšs avoir rappelĂ© l’évolution historique du concept d’interprĂ©tation et faisant appel Ă  la notion d’entour telle que dĂ©finie par François 1998, Évelyne Bedoin analyse et compare deux situations de dĂ©bats interprĂ©tatifs dans une mĂȘme classe de CM2 appliquĂ©es respectivement Ă  une question relevant Ă  la fois des sciences de la nature et de la littĂ©rature. L’hĂ©tĂ©rogĂ©nĂ©itĂ© des entours au sein de la communautĂ© interprĂ©tative que constitue la classe amĂšne Ă  des quiproquos qui ne sont pas forcĂ©ment mis au jour par le maĂźtre qui, dans sa reformulation, a tendance Ă  imposer un sentiment de consensus alors que l’intercomprĂ©hension ne s’est pas vraiment dĂ©veloppĂ©e du fait que les cadres de rĂ©fĂ©rences des diffĂ©rents interlocuteurs n’ont pas eu l’occasion d’ĂȘtre explicitement identifiĂ©s. Pour conclure, les perspectives didactiques prĂ©sentĂ©es contribuent, Ă  leur façon, Ă  faire avancer la rĂ©flexion sur l’enseignement du français dans sa dimension culturelle, ouvrant ainsi de nouveaux chantiers de annexes
JadiIslam mempunyai dua aspek, yakni segi agama dan segi kebudayaan. Dengan demikian, ada agama Islam dan ada kebudayaan Islam. Antara yang kedua dan yang pertama membentuk integrasi. Demikian eratnya jalinan integrasinya, sehingga sering sukar mendudukkan suatu perkara, apakah agama atau kebudayaan. Misalnya nikah, talak, rujuk, dan waris.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat jenis penguatan karakter seperti apa yang dapat membangun karakter siswa berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif di lapangan dengan menggunakan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, diskusi kelompok FGD serta dokumentasi. Selain itu, data disajikan dengan menggunakan pendekatan deskriptif, dalam bentuk kata-kata, tulisan, untuk memperjelas data yang dikumpulkan dan dianalisis. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa penguatan pendidikan karakter melalui pendidikan Agama Islam di SMP N 3 Bandar Lampung dibagi menjadi 3 bidang PPK berbasis kelas, PPK berbasis sekolah, PPK berbasis masyarakat itu bisa dikatakan baik dan tidak. PPK berbasis kelas sudah dilakukan dengan baik di SMP 3 Bandar Lampung karena setiap tahapan-tahapan telah dilakukan dengan baik. Tahapan-tahapan tersebut termasuk mengintegrasikan PPK ke dalam program, PPK melalui manajemen kelas, PPK melalui pilihan dan penggunaan metode pembelajaran tematik, PPK oleh gerakan literatur, PPK melalui bimbingan dan konsling. Dari kelima tahap implementasi ini, dapat dikatakan bahwa itu maksimal dan dilaksanakan dengan baik. Bidang berikutnya adalah budaya sekolah berdasarkan PPK. Dalam budaya sekolah, banyak nilai inti PPK yang diterapkan. PPK berdasarkan budaya sekolah dalam implementasinya berjalan dengan baik. Kondisi sosial-budaya di SMP N 3 Bandar Lampung sangat mudah diterapkan, untuk berbagai jenis nilai-nilai luhur, sehingga contoh-contoh pendidikan dapat dengan mudah diintegrasikan dengan siswa. PPK berbasis masyarakat dalam implementasinya di SMP N 3, Bandar Lampung belum bekerja sesuai dengan konsep PPK itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan ruang lingkup implementasinya. Namun, beberapa hal dapat diimplementasikan, termasuk hubungan sosial antara komite sekolah dan orang tua sebagai aktor kunci dalam pendidikan. Ada Kolaborasi yang masih terbatas, yaitu komunitas ulama dan guru ngaji. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa di antara tiga bidang PPK yang belum diimplementasikan dengan benar, adalah PPK berbasis masyarakat. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 83 PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMPN 3 BANDAR LAMPUNG Siti Zulaikah Sitizulaikah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Indonesia Abstract The purpose of this study is to see what kind of character reinforcement can build student character based on Islamic values. This research uses descriptive qualitative research in the field by using observation, interview, group discussion FGD data collection techniques and documentation. In addition, data is presented using a descriptive approach, in the form of words, writing, to clarify the data collected and analyzed. The results of the study show that strengthening character education through Islamic education in SMP N 3 Bandar Lampung is divided into 3 fields class-based KDP, school-based KDP, community-based KDP can be said to be good and not. Class-based KDP has been done well at SMP 3 Bandar Lampung because each stage has been done well. These stages include integrating KDP into the program, KDP through classroom management, KDP through the choice and use of thematic learning methods, KDP by the literature movement, KDP through guidance and counseling. Of the five stages of implementation, it can be said that it is maximized and implemented well. The next field is school culture based on KDP. In school culture, many core KDP values are applied. KDP based on school culture in its implementation went well. The socio-cultural conditions in SMP N 3 Bandar Lampung are very easy to implement, for various types of noble values, so that examples of education can be easily integrated with students. Community-based KDP in its implementation in SMP N 3, Bandar Lampung has not worked in accordance with the KDP concept itself. This is due to the limited scope of its implementation. However, some things can be implemented, including social relations between school committees and parents as key actors in education. There is still limited collaboration, namely the ulama community and the teacher of the Koran. Therefore it can be concluded that among the three KDP fields that have not been properly implemented, it is community based KDP Key Words Character Education and Islamic Education Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat jenis penguatan karakter seperti apa yang dapat membangun karakter siswa berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif di lapangan dengan menggunakan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, diskusi kelompok FGD serta dokumentasi. Selain itu, data disajikan dengan menggunakan pendekatan deskriptif, dalam bentuk kata-kata, tulisan, untuk memperjelas data yang dikumpulkan dan dianalisis. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa penguatan pendidikan karakter melalui pendidikan Agama Islam di SMP N 3 Bandar Lampung dibagi menjadi 3 bidang PPK berbasis kelas, PPK berbasis sekolah, PPK berbasis masyarakat itu bisa dikatakan baik dan tidak. PPK berbasis kelas sudah dilakukan dengan baik di SMP 3 Bandar Lampung karena setiap tahapan-tahapan telah dilakukan dengan baik. Tahapan-tahapan tersebut termasuk mengintegrasikan PPK ke dalam program, PPK melalui manajemen kelas, PPK melalui pilihan dan penggunaan metode pembelajaran tematik, PPK oleh gerakan literatur, PPK melalui bimbingan dan konsling. Dari kelima tahap implementasi ini, dapat dikatakan bahwa itu maksimal dan dilaksanakan dengan baik. Bidang berikutnya adalah budaya sekolah berdasarkan PPK. Dalam budaya sekolah, banyak nilai inti PPK yang diterapkan. PPK berdasarkan budaya sekolah dalam implementasinya berjalan dengan baik. Kondisi sosial-budaya di SMP N 3 Bandar Lampung sangat mudah diterapkan, untuk berbagai jenis nilai-nilai Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 84 luhur, sehingga contoh-contoh pendidikan dapat dengan mudah diintegrasikan dengan siswa. PPK berbasis masyarakat dalam implementasinya di SMP N 3, Bandar Lampung belum bekerja sesuai dengan konsep PPK itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan ruang lingkup implementasinya. Namun, beberapa hal dapat diimplementasikan, termasuk hubungan sosial antara komite sekolah dan orang tua sebagai aktor kunci dalam pendidikan. Ada Kolaborasi yang masih terbatas, yaitu komunitas ulama dan guru ngaji. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa di antara tiga bidang PPK yang belum diimplementasikan dengan benar, adalah PPK berbasis masyarakat. Kata Kunci Penguatan Pendidikan Karakter dan Pendidikan Agama Islam PENDAHULUAN Saat ini Indonesia sedang dihadapkan pada permasalahan melemahnya karakter bangsa.Anwar and Salim 2018 Karakter mulia, kesopanan dan religiusitas yang dipertahankan dan menjadi budaya Indonesia selama ini terasa asing dan jarang ditemukan tengah-tengah masyarakat.Ainiyah 2013 Dalam perkembangannya, pembentukan karakter pada generasi penerus bangsa sudah diupayakan dengan berbagai bentuk dan usaha, namun hingga saat ini belum terlaksana dengan optimal.Anam 2014 Karakter merupakan suatu ciri khas yang membedakan antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Karakter adalah hal dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Pada masa sekarang, banyak kasus kemerosotan karakter yang terjadi di Indonesia. Salah saatunya adalah krisis dalam dunia pendidikan. Banyak peserta didik yang sering membolos, menjamurnya budaya menyontek, kasus tawuran antar pelajar, dan sebagainya. Hal tersebut dikarenakan kurangnya penanaman karakter sejak dini yang dapat dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.Wahyu Suryanti and Dwi Widayanti 2018. Dunia pendidikan yang secara filosofis dipandang dan diharapkan sebagai alat atau wadah untuk mencerdaskan dan membentuk watak manusia agar lebih baik humanisasi, sudah mulai bergeser. Hal tersebut terjadi salah satunya disebabkan kurang siapnya dunia pendidikan untuk mengikuti perkembangan zaman yang begitu cepat. Padahal pendidikan seharusnya menjadi alternatif untuk mengatasi dan mencegah krisis karakter bangsa. Oleh sebab itu, diperlukan suatu cara agar pendidikan dapat memperlihatkan tajinya dalam peransertanya membenahi jatidiri bangsa. Saah satu cara yang dilaksanakan dalam beberapa tahun ini yaitu dengan pengembangan pendidikan karakter.Dahliyana 2017. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah memberlakukan pendidikan karakter di semua tingkat dunia pendidikan formal di Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 85 Indonesia. Pendidikan Karakter adalah upaya mendidik anak supaya mereka dapat membuat keputusan dan mempraktikan secara bijaksana dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat berkontribusi secara positif terhadap lingkungan mereka Yetri 2017 yangg mengarah pada pencapaian dalam pembentukan karakterr dan akhlak mulia siswa secara utuh, terintegrasi dan seimbang, sesuai dengan standarr kompetensi. Sekolah adalah salah satu tempat strategis dalam pembentukan karakter, selain keluarga dan masyarakat. Hal itulah yang mendasari perlu adanya program pendidikan karakter di sebuah sekolah, baik dalam kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler sekolah. Karakter bukan merupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri, tetapi nilai nilai karakter tersebut diintegrasikan dalam kurikulum, artinya menjadi penguat kurikulum yang sudah ada, yaitu dengan mengimplementasikan kurikulum yang sudah ada, yaitu dengan mengimplementasikannya dalam mata pelajaran dan dalam kegiatan sehari-hari peserta didik.Taqiudin Zarkasi 2018. Oleh sebab itu, perlu penanaman pendidikan karakter untuk setiap sekolah dengan berbagai kegiatan yang bisa menunjang penanaman karakter yang baik Hamid 2017. Diharapkan melalui pendidikan karakter siswa SMP dapat secara mandiri meningkatkan dan menggunakan ilmu pengetahuan mereka, untuk mempelajari dan menginternalisasi dan mempersonalisasikan nilai-nilaiikarakter dan nilai-nilai moral yang mulia sehingga mereka memanifestasikan dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan Karakter di tingkat institusional bertujuan untuk membentuk budaya sekolah yang dipraktikkan oleh seluruh anggota sekolah. Adapun yang dimkasud dengan Budaya sekolah adalah karakteristik, watak, dan citra sekolah yang dipandang di mata masyarakat luas.Kebudayaan 2010 Pada pendidikan formal di Kota Bandar Lampung, pendidikan karakter yang diterapkan lebih mengarah pada nilai agama, terutama dalam pendidikan dasar sembilan tahun, terutama di tingkat sekolah dasar dan menengah pertama. Ini dapat dilihat di banyak sekolah negeri dan swasta, yang menanamkan nilai-nilai agama di lingkungan sekolah. Seperti kegiatan sholat Sunah Dhuha sebelum belajar, membaca al-Qur'an, peserta didik perempuang diwajibkan menggunakan jilbab serta pengimpelmentasian kegiata-kegiatan agama lainnya di lingkungan sekolah. Demikian pula, Sekolah Menengah Pertama 3 Bandar Lampung, sudah mengimplementasikan penguatan pendidikan karakter berdasarkan nilai-nilai agama. Mayoritas siswa SMP Negeri 3 Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 86 Bandar Lampung adalah Muslim, sehingga kegiatan sekolah harus lebih mengutamakan nilai-nilai agama islam. Mengingat hasil studi di atas, masih dibutuhan untuk berpikir secara mendalam tentang upaya sekolah untuk mencapai penguatan karakter berbasis Pendidikan Islam. Gerakan pendidikan di sekolah untuk memperkuat karakter melalui proses pelatihan, menstransformasikan, menstransmisikan, dan mengembangkan kemampuan siswa dengan cara menerapkan 1 nilai agama; 2 nasionalis; 3 mandiri; 4 gotong royong; dan 5 integritas merupakan suatu cara penguatan pendidikan karakter di sekolah. Program Penguatan Pendidikan Karakter PPK adalah program yang sangat penting untuk dilaksanakan dengan tujuan memperkuat pendidikan karakter yang dilaksanakan. Selain lingkungan keluarga dan sosial, lingkungan sekolah merupakan institusi nomer dua yang berperan penting dalam pembentukan pribadi anak. Penguatan Pendidikan Karakter merupakan kelanjutan dan revitalisasi gerakan nasional pendidikan karakter yang telah dimulai pada 2010. Penguatan pendidikan karakter character education atau pendidikan moral moral education dalam masa ini perlu diimplementasikan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda negeri ini. Krisis tersebut antara lain adalah pergaulan bebas yang semakin meningkat, seperti penyalahgunaan obat-obatan terlarang narkoba dan pornografi. Selain dua kasus tersebut, saat ini juga marak terjadi kekerasan terhadap anak dan remaja, pencurian, kebiasaan menyontek, serta tawuran yang sudah menjadi masalah sosial yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.Atik Maisaro, Bambang Budi Wiyono 2018 Hal ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut di SMP Negeri 3 Bandar Lampung untuk melihat bagaimana pelaksanaa penguatan pendidikan karakter yang dilaksanakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan jenis penguatan karakter apa yang diberikan kepada siswa berdasarkan nilai-nilai agama. Dalam penelitian Peneliti lebih fokus terhadap Pendidikan Agama Islam sebagai sarana pembangunan karakter, sebab dalam pendidikan karakter lebih menekankan niai-nilai agama. Berdasarkan pada studi penelitian terdahulu yang dilakukan oleh EnyWahyu Suryatnti dan Febi Dwi Widayanti dengan judul Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Religius. Pada penelitian terdahulu menyatakan bahwa sudah banyak kasus kemerosotan karakter dalam dunia pendidikan, oleh sebab itu maka dibutuhkan suatu penanaman karakter sejak dini baik dilingkungan keluarga maupun Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 87 dilingkungan sekolah. Penelitian terdauhulu merupakan jenis penelitian kualitatif yang memiliki tujuan untuk mengetahui penerapan pendidikan karakter berbasis religius. Dan hasil temuan dari penelitian terdahulu adalah ada bentuk-bentuk penerapan pendidikan karakter berbasis religius di LPI Kota Malang. Adapun perbedaan pada penelitian penulis dengan penelitian terdahulu adalah penelitian terdahulu fokus pada penguatan pendidikan karakter berbasis religius, sedangkan fokus penelitian penulis adalah lebih fokus terhadap pendidikan islam sebagai upaya pembangunan karakter, sebab dalam pendidikan karakter lebih ditekakan pada nilai-nilai agama. METODE PENELITIAN Penelitian tersebut merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, diskusi kelompok FGD dan dokumentasi. Selain itu, dalam penyajian data menggunakan pendekatan deskriptif, dalam bentuk kata-kata, tulisan, untuk memperjelas data yang dikumpulkan dan dianalisis. Dalam penelitian ini, penulis meneliti dan menganalisia dari penguatan pendidikan karakter melalui pendidikan agama Islam di Sekolah Negeri Bandar Lampung 3. Data primer adalah data yang diperoleh oleh peneliti dan sumber utama Suryabrata, 2003. Diperoleh melalui pengamatan kegaiatan-kegiatan sekolah dan wawancara dengan, kepala sekolah siswa dan pihak lain yang tinggal di sekolah dan orang tua dari siswa. Data sekunder adalah data pendukung yang dapat berupa dokumen atau wawancara. Data sekunder berupa dokumen, profil SMP Negeri 3 Bandar Lampung dan rujukannya, serta hasil narasumber terkait dengan data pendukung lainnya. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara dengan reponden, yaitu, guru Pendidikan Agama Islam, guru Bimbingan dan Konsling, kepala sekolah, waka siswa, waka kurikulum, dan staf perpustakaan. Alat pengumpulan data berikutnya adalah teknik observasi yang melibatkan mengamati kegiatan pembelajaran guru PAI, kegiatan pendidikan dari awal hingga pulang sekolah, dan kegiatan ekstrakurikuler rohis. Alat pengumpulan data berikutnya adalah mendokumentasikan dokumentasi yang digunakan untuk mengumpulkan dokumen profil sekolah, RPP dan Silabus mata pelajaran PAI. Dan yang terakhir, metode yang Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 88 digunakan dalam pengambilan data dengan teknik FGD. FGD digunakan untuk mengambil data. Selanjutnya setelah data terkumpul maka data di analisis. Analisis data adalah upaya secara sistematis mengatur catatan yang diperoleh dan hasil wawancara, pengamatan dan data terkait lainnya untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti, dengan memilih yang penting dan yang akan dipelajari, dan yang bisa dikomunikasikan kepada orang lain. Analisis dimulai dengan memeriksa semua data dan sumber yang tersedia, termasuk wawancara, observasi lapangan atau pengamatan, rekaman dan dokumen lainnya.Moleong 2005 HASIL DAN PEMBAHASANN Dalam Penguatan pendidikan karakter melalui Pendidikan AgamaaIslam terdapat tiga jalur, yang pertama memperkuat pendidikan karakter berbasis kelas. Berdasarkan data yang diperoleh, SMP 3 Bandar Lampung untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam menggunakan program K13 di mana program ini merupakan persyaratan dengan memasukkan nilai-nilai karakter. Demikian juga, guru Pendidikan Agama Islam membuat RPP dengan mengggunakan kurikulum 2013. Penguatan ini terdiri dari mengintegrasikan K 13 ke dalam kegiatan pembelajaran PAI, baik intra-kurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler. Nilai-nilai dan pesan-pesan dalam materi pembelajaran diurutkan dan dipilih dan guru menganalisis keterampilan dasar yang dapat dimasukkan dalam rencana pelajaran. Misalnya, RPP kelas IX disiapkan oleh guru PAI dengan tema toleransi pada mata pelajaran PAI. Bahan belajarnya adalah ayat 13 dari Sura Al-Hujurat tentang Toleransi dan menghormari terhadap Perbedaan. Dalam RPP, ada empat keterampilan utama, yaitu K11, K12, K13 dan K14 Semua kompetensi didasarkan pada nilai-nilai karakter dari materi pembelajaran. Rencana Pembelajaran yang dikembangkan oleh pendidik tentang topik-topik seperti toleransi dan menghormati terhadap keberagaman adalah bentuk integrasi nilai-nilai penguatan pendidikan karakter, yaitu agama dengan nilai turunan meliputi toleransi dan beriman bertaqwa. Ada dua nilai karakter yang ditanamakan oleh guru dalam sikap toleransi beragama, yaitu toleransi terhadap agama yang sama dan terhadap yang berbeda agama. Peserta didik yang berbeda agama diberi pelajaran agar tidak menghina dan menertawakan agama lain. Peserta didik didorong agar saling Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 89 mengasihi sebagai anak-anak bangsa yang setara, sebagai saudara dan saudari di negara yang sama. Sementara sikap toleransi sesama agama, siswa dididik untuk saling mencintai karena setiap Muslim adalah saudara. Seperti hadis Nabi SAW bahwa persaudaraan umat Islam terlihat seperti bangunan ketika seorang anggota sakit, orang Muslim lainnya merasakan perasaan yang sama. Dengan demikian, tergerak hati dan tubuh untuk ikut merasakan dan membantu sehingga tercipta rasa memiliki dan kasih sayang. Selain itu, dalam pengembangan rencana pembelajaran dengan materi toleransi dan menghormati perbedaan, penekanannya adalah pada peningkatan karakter dengan menunjukkan pilihan metode pembelajaran dan sumber pembelajaran. Di sini, guru memilih untuk menggunakan model pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran kelompok dengan jumlah siswa 2-5 orang dengan ide-ide untuk memotivasi diri di antara anggotanya sehingga mereka saling membantu untuk mencapai tujuan belajar yang maksimal. Model ini menekankan sikap kerja sama yang baik antar siswa. Dengan kolaborasi ini, akan memupuk kerja sama dan saling membantu, serta fakta bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri dan pasti membutuhkan orang lain. Untuk mendukung pengimplementasian model ini, guru memilih untuk menggunakan metode tanya jawab, wawancara, diskusi, dan bermaina peran. Model tanya jawab terdiri dari penyampaian pesan pendidikan dengan mengajukan pertanyaan dan siswa memberikan jawaban atau sebaliknya, siswa memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan guru menjawab pertanyaan. Model wawancara adalah model untuk memperoleh informasi dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada siswa. Model diskusi adalah sarana untuk menyajikan materi pelajaran ketika guru memberi siswa kelompok siswa kesempatan untuk mengadakan pembicaraan ilmiah untuk mengumpulkan pendapat, menarik kesimpulan atau mengatur berbagai solusi untuk memecahkan suatu masalah. Metode role play adalah suatu bentuk model pembelajaran dari game edukasi yang digunakan untuk menjelaskan perasaan, sikap, perilaku dan nilai-nilai, dalam rangka menghargai perasaan, pandangan dan cara berpikir orang lain. Kerja sama, solidaritas, gotong royong dan keluargaan adalah nilai-nilai yang memperkuat karakter yang diwujudkan. Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 90 Selain itu, RPP juga menjelaskan kegiatan pembelajaran dasar yang menggabungkan nilai-nilai pembangunan karakter. Misalnya, kegiatan literasi terdiri dari melihat, menonton, membaca, dan bermain dalam RPP untuk menumbuhkan sikap mandiri siswa. Siswa harus menjadi pembelajar dan siswa yang disiplin, yang juga diterapkan oleh guru sehingga mereka dapat berpikir kritis dengan mengajukan pertanyaan dan menjadi kreatif dalam menyimpulkan poin-poin penting yang muncul dalam kegiatan pembelajaran. Berpikir kritis memiliki keuntungan menjadi siswa yang tidak memiliki pikiran ceroboh untuk membuat keputusan dan menemukan solusi untuk masalah. Mereka juga dilatih dengan bekerja sama melalui diskusi. Selama diskusi, siswa juga dilatih dalam kemandirian dan kepercayaan diri untuk meneliti dan mengumpulkan informasi dan kemudian menyajikan kembali materi pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan pengetahuan dan keberanian mereka dengan pertukaran informasi antara masing-masing kelompok. Dalam mengevaluasi, guru melakukan secara otentik berdasarkan kurikulum 2013, yaitu penilaian sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh siswa, sehingga menghasilkan penilaian yang objektif. Penilaian autentik adalah ukuran yang mewakili semua nilai sebenarnya yang melekat pada objek yang dievaluasi dalam kaitannya dengan program 2013, objek evaluasi tidak lain adalah siswa. Penilaian otentik tidak hanya mengukur apa yang diketahui siswa, tetapi lebih berfokus pada apa yang dapat dilakukan oleh siswa. Kurikulum13 lebih berfokus pada penilaian sikap. Penilaian sikap dilakukan karena penilaian sikap adalah kegiatan yang bertujuan untuk memahami perilaku peserta didik selama pembelajaran dan pembelajaran eksternal, yang bertujuan untuk menumbuhkan perilaku yang konsisten dengan karakteristik dalam konteks pelatihan karakter siswa. Upaya untuk meningkatkan dan menumbuhkan sikap yang diharapkan sesuai dengan guru KI-1 dan KI-2 harus memungkinkan untuk pembiasaan dan pengembangan berkelanjutan dalam pembelajaran dan pembelajaran eksternal. Untuk mengetahui kemajuan guru harus melakukan penilaian. Kedua, budaya sekolah. Sekolah telah mengembangkan praktik-praktik baik yang memperkuat nilai religiusitas. Memperkuat nilai pendidikan karakter di sekolah terkait dengan pembiasaan atau budaya di unit pengajaran itu sendiri. Menurut data Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 91 yang diperoleh oleh peneliti, salah satu budaya dari Sekolah Menengah Pertama 3 Bandar lampung adalah budaya berjabat tangan dan menyapa guru, karena budaya 3S dibudidayakan dengan sapa, salam, senyum. Lima belas menit sebelum masuk kelas diperharuskan untuk membaca surat dalam Al-Quran dan terjemahannya. Kemudian menyanyikan lagu-lagu Indonesia dan membaca Pancasila. Saat memasuki jam dhuhur, itu wajib untuk sholat dzuhur berjamaah. Dan ketika mereka hendak kembali ke rumah, mereka harus berdoa dilajutkan menyanyikan lagu-lagu wajib dan lagu-lagu daerah. Kebersihan lingkungan juga berlaku untuk Sekolah Menengah Pertama 3 Bandar Lampung dengan menyelenggarakan hari Jumat yang bersih sehingga siswa dapat belajar untuk bekerja sama. Program sekolah juga diselenggarakan, termasuk PHBI, layanan sosial dan buka bersama. Yang sangat diterapkan sekali di SMP 3 Bandar Lampung adalah kewajiban untuk mengenakan jilbab bagi siswi Muslim. Dan ketiga, memperkuat pendidikan karakter berbasis masyarakat. Dalam hal ini, sekolah tidak banyak berkolaborasi dengan institusi lain. Tetapi dengan budaya nilai-nilai utama religiusitas melalui pendidikan agama Islam, sekolah bekerja sama dengan komunitas ulama. Ini terjadi ketika sekolah mengadakan PHBI, Isro 'dan Mi'roj, Maulid Nabi SAW, Halal-bi Halal, dll. Sekolah mengundang Da'i dari luar untuk mengisi tausiah dalam kegiatan PHBI. Kemudian, dalam kegiatan ekstra kurikuler Rohis, sekolah juga mengundang guru ngaji untuk melatih para siswa agar lancar dalam membaca Al-Quran. Demikian juga, sekolah menggunakan guru yang kompeten untuk melatih siswa untuk membentuk kelompok marhaban. KESIMPULAN DAN SARAN Penguatan pendidikan karakter Di SMP Negeri 3 Bandar dilakukan melalui pendidikan agama Islam. Penguatan pendidikan karakter melalui pendidikan agama Islam ini meliputi tiga jalur dan basis, yaitu berbasis kelas dengan mengintegrasikan K 13 ke dalam kegiatan pembelajaran PAI, baik intra kurikuler, kokurikuler, dan ekstra kurikuler. Kedua, berbasis budaya sekolah dengan cara membudayakan praktik-praktik yang menguatkan nilai religiusitas. Dan ketiga, berbasis masyarakat, dalam hal ini sekolah masih kurang melibatkan lembaga-lembaga keagamaan untuk bekerjasama dalam mendukung pendidikan karakter. Interaksi kepada orang tua siswa juga masih Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 92 kurang. Begitu juga gerakan literasi keagamaan di lingkungan sekolah dan di luar sekolah juga masih kurang. Adapun saran dalam peneliitian ini ialah sebagai berikut pertama, dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam harus terus mengembangkan dan menanamkan nilai-nilai utama, baik dari sisi religiusitas, kemandirian, nasionalisme, gotong royong dan integritas, agar terjadi suatu penguatan dalam pendidikan karakter. Karena dengan pendidikan karakter ini, siswa tidak hanya dituntut untuk memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam, tetapi diharapkan memiliki karakter yang sesuai dengan nilai-nilaii kehidupan sehari-hari. Terkhusus untuk SMP Negeri 3 Bandar Lampung, untuk lebih fokus pada penguatannpendidikan karakter berbasis masyarakat. Kedua, sekolah harus lebihg menekankan nilai agama untuk lebih memperkaya literatur Islam serta meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan keaagamaan. Dan ketiga, perlu dilaksanakan penelitiann yang lebih mendalam pada manajemenn penguatan pendidikan karakter. DAFTAR PUSTAKA Ainiyah, Nur. 2013. “Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam.” Al-Ulum 13 1 25–38. Anam, Much. Arif Saiful. 2014. “Pendidikan Karakter Upaya Membentuk Generasi Berkesadran Moral” 02 02 390–426. Anwar, Syaiful, and Agus Salim. 2018. “PENDIDIKAN ISLAM DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA DI ERA MILENIAL” 9 2 233–47. Atik Maisaro, Bambang Budi Wiyono, Imron Arifin. 2018. “Manajement Program Penguatan Pendidikan Karakter Di Sekolah Dasar.” Jurnal Adminitrasi Dan Manajemen Pendidikan 1 3 302–12. Dahliyana, Asep. 2017. “Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Kegiatan Ekstrakurikuler Di Sekolah.” Jurnal Sosioreligi 15 1. 54-64 Hamid, A. 2017. “Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren Pelajar Dan Santri Dalam Era IT & Cyber Culture.” In , 28. Surabaya IMTIYAZ. Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan. 2010. “Pembinaan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Pertama.” In , 9. Jakarta Kemendinas. Moleong, Lexy J. 2005. “Metodologi Penelitian Kualitatif.” In , 247. Bandung PT Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, Volume 10. No. I 2019 P. ISSN 20869118 E-ISSN 2528-2476 93 Remaja Rosdakarya. Taqiudin Zarkasi, Al Kauseri. 2018. “Penguatan Pendidikan Karakter Di Madrasah Perpres N0 68 Tahun 2017” I 3 1–18. Wahyu Suryanti, Eny, and Febi Dwi Widayanti. 2018. “PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS RELIGIUS,” no. September 254. ... This is so that his attitude and behavior do not go outside the boundaries of Islamic values, all of which will be faced by Muslims, because of the socio-cultural changes that are increasingly developing in peoples lives Yasmin & Sohail, 2018. Therefore, with the existence of an educational cultural approach, it is hoped that there will be an awareness and understanding of how we can consolidate and sort out every positive side contained in a culture that has a strong influence on the religion and socio-culture of each nations children Zulaikhah, 2019. With the existence of Islamic religious education, it is hoped that it will be able to deliver every human being related to God Hablum mina Allah. ...Firman MansirReligious and socio-cultural education is inseparable in peoples lives. Educational cultural proximity to religion and socio-cultural development become two interrelated and mutually needy sides in solving social problems of society. This research shows that there is a relationship between religious and cultural education that is interrelated, giving birth to changes and responding to the rapid development of the times, thus ushering in a reality of religious life that is full of educational values without losing the local culture. The success of a nation can be seen and measured by the younger generation of its nation in the present and the future. Regarding religious education with culture, it is hoped that there will be the best results from a new generation and have potential with good quality, who can develop the knowledge they have and apply it well in the fabric of education, society, and culture. Thus, religious and socio-cultural education provides answers to various problems in the social development of budaya to religion in the context of educational institutions, be it in schools or madrasas. Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan kultural edukatif terhadap agama dan perkembangan sosial budaya menjadi dua sisi yang saling terkait dan saling membutuhkan dalam memecahkan persoalan sosial masyarakat. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan Agama Islam dan budaya yang saling berkaitan, dengan melahirkan perubahan serta merespon berkembangnya zaman yang semakin pesat, sehingga mengantarkan pada sebuah kenyataan kehidupan beragama yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan tanpa menghilangkan budaya setempat. Berhasilnya suatu bangsa dapat dilihat serta diukur dari generasi muda bangsanya pada masa kini serta pada masa yang akan datang. Dalam hubungannya Pendidikan Agama Islam dengan budaya, sangat diharapkan adanya hasil terbaik dari generasi yang baru dan memiliki potensi dengan kualitas yang baik, yang mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan mengaplikasikannya dengan baik dalam jalinan pendidikan, sosial dan budaya. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya memberi jawaban dari berbagai permasalahan dalam perkembangan sosial budaya terhadap agama dalam konteks lembaga pendidikan, baik itu di sekolah maupun ShofwanAchmad MunibThis study explores the values of social character education in Surah Al-Hujurat verses 11-13. This study uses the library research method by utilizing two commentary books classified as works of classical and contemporary interpretation, namely, the interpretation of Ibn Kathir and Al-Azhar. The results of this study found that Al-Hujurat verses 11-13 contain meaning in the form of teachings and social values as the basis for carrying out a humane society. Education and social values are stored in various prohibition states with many positive values. The ban consists of several behaviors not insulting fellow human beings, self-reproach and others, prejudice, spreading false news, looking for other people's faults, and various derived behaviors. Implementing all forms of prohibition has an orientation towards forming individual social character, which is the basis for carrying out social Uswatun HasanahRena SulistyaningrumThis study aims to explore the implementation of character education in building religious moderation in MA El-Bayan Majenang. By conducting this research, it is hoped that it can provide an overview of the character education practices carried out at MA El-Bayan Majenang. The author also hopes that this research can provide useful information about the implementation of character education in building religious moderation in the millennial generation at MA El-Bayan Majenang. The research method used is descriptive method with a qualitative approach. Data were collected through observation, interviews and documentation studies. Research participants included teachers, students, and school staff involved in implementing character education at MA El-Bayan Majenang. The results of the research show that character education is an important effort in educating children to be able to make wise decisions and apply them in everyday life. Implementation of character education at MA El-Bayan Majenang through religious activities has succeeded in growing and increasing students' sense of religiosity. In this context, the millennial generation at MA El-Bayan Majenang shows a positive level of religious moderation. Based on the results of this study, it can be concluded that character education is an important component in building religious moderation in the millennial generation at MA El-Bayan Majenang. The practice of character education through religious activities can make a positive contribution in forming strong and moderate religious attitudes in students. These findings provide a better understanding of the importance of character education in the context of building religious moderation in the millennial religious values as the basis for character education for the younger generation is important to do as an effort to overcome the polemic of moral degradation and identity crisis that overshadows students in the era of technological development. This study aims to describe the strengthening of religious values among the younger generation in Islamic educational institutions so that they are able to become models in other educational institutions, especially in terms of developing students' character. This research is a type of qualitative research with a literature study and uses an anthropological approach to religion that focuses more on human, cultural and religious aspects. The data analysis technique in this study was started by categorizing research articles related to the research topic, then, analyzed using an anthropological approach. The results of this study indicate that efforts to strengthen religious values as the basis for character education can be carried out by revitalizing institutional governance and orienting learning based on local cultural wisdom and contextual learning NurhayaniDeri WantoMoral degradation has occurred and has become a serious threat to world civilization, so it is a challenge that Islamic religious education must be able to solve. One of the efforts being made is strengthening and internalizing character education in the Islamic education curriculum. Character education is an inseparable part of the implementation of Islamic religious education. Thus character education can be internalized in the PAI curriculum and learning. This study aims to determine the efforts made by MIN 1 Lebong to improve the morals of the nation's children by internalizing character education in the PAI curriculum. This study uses a qualitative method with a field research approach. The result of the research is the design of the RPP design that includes the values of the nation's character and in the process always instills character education values such as religious, honest, tolerance, discipline, hard work, creative, independent, democratic, curiosity, enthusiasm. nationality, love for the homeland, appreciate achievements, friendly/communicative, love peace, love to read, care for the environment, care about social and responsibility. Apart from intra-curricular activities, character education is also applied to co-curricular and extra-curricular activities such as tahsin, khatil and muhadharah as well as PHBI, activities tahfizh and is currently faced with the problem of weakening character. Formation of character in the nation's next generation has been pursued with various forms and efforts, but until now it has not been implemented optimally. The purpose of this study is to describe the planning, implementation, and evaluation of the strengthening of character education programs in the millennial era through the learning process of PAI Islamic Religious Education and Civics Education Civics Education. This research uses a qualitative approach with descriptive methods. This research was conducted at the Islamic Middle School Khadijah Bagek Nyake East Lombok. Data collection uses observation, interviews, documentation, and questionnaires. The data analysis technique uses three activities, namely data reduction, data presentation and conclusion drawing. The results were obtained as follows a Learning planning in Khadijah Bagek Nyake Aikmel Islamic Middle School is well implemented, this is evidenced by the actions taken by the teacher in compiling the syllabus, lesson plans, teaching materials and evaluation instruments before learning begins; b The learning process is quite good because the learning material taught is integrated with character values; c Evaluation of learning conducted by the teacher of student learning outcomes is optimal. While the evaluation conducted by the principal of the teacher is not BahriTujuan penelitian. Pertama, untuk mengungkapkan mengapa pendekatan al-Qur’an penting dalam membina akhlak siswa melalui kegiatan keagamaan. Kedua, untuk mengungkapkan bagaimana implementasian pendekatan al-Qur’an dalam membina akhlak siswa di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Wathan Mengkuru. Ketiga, untuk mengungkapkan bagaimana hasil implementasi pendekatan Al-Qur’an dalam membina akhlak siswa di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Wathan Mengkuru. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Lokasi penelitian ini dilakukan di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Wathan Mengkuru. Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini, observasi, wawancara, dokumentasi. Tehnik menganalisis data dalam penelitian ini yakni analisis filosofis deskriptif, yaitu menguraikan serta memaparkan data dari hasil temuan-temuan yang peneliti peroleh memalaui obsevasi, wawancara, dan dokumentasi. Pengecekan keabsahan data dilakukan menggunakan uji kreadibilitas,uji transferability, uji dependability, uji konfirmability. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan al-Qur’an memiliki urgensi yang penting untuk diterapkan di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Wathan Mengkuru. Untuk membina akhlak siswa melalui kegiatan keagamaan yang dilakukan di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Wathan Elfa Nur IzzaM. Fajar Al AziziAbstrak Dewasa ini banyak keluarga yang kembali melirik Pondok Pesantren sebagai sarana pembinaan moral, karena para orang tua menilai bahwa Pondok mampu menjawab berbagai tantangan dan permasalahan pendidikan kontemporer dengan proses pendidikan dan pengajarannya yang lebih terpadu sehingga mampu lebih efektif membentuk karakter yang tinggal di pondok pesantren diasumsikan akan mendapat pembinaan yang lebih mendalam dan terstruktur daripada siswa yang tidak tinggal di pondok. Penelitian ini berfungsi untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan karakter antara siswa yang tinggal di pesantren dan tidak di pesantren. Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini menggunakan analisis komparasional, yaitu dengan cara membandingkan akhlak siswa berdasarkan perbedaan lingkungan tempat tinggal. Hasil penelitian ini yaitu siswa yang tinggal di pondok pesantren memiliki karakter yang lebih baik dalam pada kategori Akhlak kepada Alloh, Akhlak kepada diri sendiri, akhlak kepada sesama dan akhlak kepada lingkungan. Hasil t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan tentang karakter siswa yang tinggal di lingkungan keluarga dengan siswa yang tinggal di lingkungan pesantren. Kata Kunci Karakter, siswa yang tinggal di pesantren, siswa yang tinggal di rumah Abstract Nowadays, many families are turning their attention back to Islamic boarding schools as a means of moral development, because parents consider that Islamic boarding schools are able to answer various challenges and problems of contemporary education with a more integrated education and teaching process so that they can be more effective. It is assumed that students who live in Islamic boarding schools will receive more in-depth and structured guidance than students who do not live in Islamic boarding schools. This study serves to determine whether there are differences in character between students who live in Islamic boarding schools and those who do not. The research method used in this research is descriptive analysis method with a quantitative approach. This study uses comparative analysis, namely by comparing the morals of students based on differences in the environment they live in. The results of this study are students who live in Islamic boarding schools have better character in the categories of morality to Allah, morality to oneself, morality to others and morality to the environment. The results of the t-test showed that there were significant differences in the character of students who lived in a family environment with students who lived in an Islamic boarding school environment. Keywords Character, students who live in boarding schools, students who live at homeMelinda PridayaniAhmad RivauziThis study aims to determine the supporting and inhibiting factors for the implementation of a strengthening program of religious character education for students in SMP Negeri 13 Padang which is accredited A in the city of Padang, West Sumatra. The research uses qualitative methods through a case study approach. Research data sources are taken from fourteen informants consisting of school principals, Islamic Religious Education teachers, and students of class Research data were taken through in-depth interviews with all informants. The results showed that the implementation of the program for strengthening the religious character education of students at SMP Negeri 13 Padang had four supporting factors including the existence of a student character strengthening book, the desire of students, supporting religious activities, and adequate facilities and infrastructure. While the five inhibiting factors include environment, peers, and cellphones. self-awareness of students themselves and lack of teacher FebriyaniFasha Putri AudinaTika Yulia Damayanti Hisny FajrussalamEducational institutions are said to be advanced if they are successful in both academic and non-academic fields. Success in this non-academic field includes the attitudes and behavior of students who are good and have noble character. Awareness of how important character education is for the next generation of this nation is growing and putting hope in its development in the field of education. The purpose of this research is of course to find out and be able to implement more about character education from an Islamic perspective. By using qualitative research methods, the researchers obtained results regarding the Islamic perspective in character education and its implementation at the elementary school level. The researchers obtained the results from the questionnaire and then processed the data through descriptive-qualitative analysis. By understanding the various opinions the researchers succeeded in getting the results of the Implementation of Islam in Character Education in Elementary Schools. Asep DahliyanaStrengthening Character Education through Extra-Curricular Activities in School. This study aims are to explore and assess information about the development of habituation of character education through the extracurricular activities at school which was held in SMA Negeri 3 Bandung. This research approach is qualitative by the case study method, to reveal and understand the realities that occur intensive and deeply, that related with the phenomenon above. Techniques of collection of data and information through interviews, observation of participant and non-participants, study of documentation, and literature studies. The findings of this study are, the relations of extracurricular activities with the character education is as implementation between knowledge gained in class with the attitude and skills that must be developed in order to have the students form the values of noble character who has become a culture within the school social life. Sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengkaji informasi tentang pengembangan habituasi pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang dilaksanakan di SMA Negeri 3 Bandung. Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif dengan metode studi kasus, untuk mengungkapkan dan memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi secara intensif dan mendalam yang berkenaan dengan fenomena di atas. Teknik pengumpulan data dan informasi dilakukan melalui wawancara, observasi partisipan dan non-partisipan, studi dokumentasi, dan studi literatur. Temuan penelitian ini adalah, hubungan kegiatan ekstrakurikuler dengan pendidikan karakter yaitu sebagai pengejawantahan antara pengetahuan yang diperoleh di kelas dengan sikap dan keterampilan yang harus dikembangkan agar dapat dimiliki siswa berupa nilai-nilai budi pekerti luhur yang telah menjadi budaya dalam kehidupan sosial sekolah tersebut. Kata kunci Pendidikan Karakter, Ekstrakurikuler, Habituasi, dan Sekolah. Setelah era reformasi datang di bumi pertiwi Indonesia, bangsa ini semakin suka saling membunuh dan semakin bekembangnya kasus school bullying Mu'in, 2011; Khasbullah, 2013. Dunia pendidikan yang secara filosofis dipandang dan diharapkan sebagai alat atau wadah untuk mencerdaskan dan membentuk watak manusia agar lebih baik humanisasi, sudah mulai bergeser. Hal tersebut terjadi salah satunya disebabkan kurang siapnya dunia pendidikan untuk mengikuti perkembangan zaman yang begituMuch. Arif Saiful Anamp> The post-reform moral crisis shows that the achievement of moral competence processed at school has not been able to result the optimal output to the moral awareness generation development of nation. This condition such that begun from verbalistic growth culture from the learning process which inclines to only teach moral education as the textual limitation. That phenomenon and fact cause many sides conclude that the importance of character education implementation intensively as the essence of moral awareness generation development. This perspective places moral as the main environment aspect which decides generation characterization. Therefore, moral awareness should be learned intently and progressed or developed by character education applicatively. When the first time of implementation of character education in the school environment, it needs to do by the moral conditioning then continue to the moral training. The Design Character education like this has a function as systemic moral ideas in progressing the generation moral awareness which is able to supply young generation with moral intelligence competence and character. olehorang tua (keluarga) pada aneka ragam kebudayaan; dan g) memahami budaya dan sub budaya sekolah serta dampaknya terhadap proses belajar mengajar serta pemanfaatannya bagi upaya dan solusi permasalahan. Daftar Pustaka HAR. Tilaar, 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya. P.M. Laksono. 2015.
This study explains the position of Pancasila Education and Islamic Religious Education in the context of religious life. There are several forms of the dynamics of religious life such as conflicts that usually occur in students, especially in various Indonesian educational institutions. Conflicts that often occur in schools are disputes between students, power struggles, small problems that are often brought up and teenage love problems. This phase students have begun to recognize feelings of love between the opposite sex. The results show that the position of Pancasila education and Islamic Religious Education is very strategic and occupies. The forefront because they are the mainstream in counteracting negative things for religious life. So, they play an active role in overcoming various violence and conflicts that occur in educational institutions. Thus, Pancasila education and Islamic Education make efforts to guide future generations of future candidates so that they can have a good personality and are certainly. In accordance with the norms of set by Islam itself through a strong religious understanding so that there are no conflicts between them. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Jayapangus Press ISSN 2615-0913 E Vol. 4 No. 3 2021 Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam Dalam Konteks Kehidupan Beragama Firman Mansir1, Lia Kian2 1Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2Perbanas Institute Jakarta 1firmanmansir Islamic Education, Pancasila, Religious Life This study explains the position of Pancasila Education and Islamic Religious Education in the context of religious life. There are several forms of the dynamics of religious life such as conflicts that usually occur in students, especially in various Indonesian educational institutions. Conflicts that often occur in schools are disputes between students, power struggles, small problems that are often brought up and teenage love problems. This phase students have begun to recognize feelings of love between the opposite sex. The results show that the position of Pancasila education and Islamic Religious Education is very strategic and occupies. The forefront because they are the mainstream in counteracting negative things for religious life. So, they play an active role in overcoming various violence and conflicts that occur in educational institutions. Thus, Pancasila education and Islamic Education make efforts to guide future generations of future candidates so that they can have a good personality and are certainly. In accordance with the norms of set by Islam itself through a strong religious understanding so that there are no conflicts between them. Pendidikan Agama Islam, Pancasila, Kehidupan Beragama Penelitian ini menjelaskan mengenai posisi Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam dalam konteks kehidupan beragama. Terdapat beberapa bentuk dari dinamika kehidupan beragama seperti konflik yang biasa terjadi pada siswa terutama terjadi diberbagai lembaga pendidikan Indonesia. Konflik yang sering terjadi di sekolah yaitu perselisihan antar siswa, pertentangan adu kekuatan, masalah kecil yang sering kali dibesarkan dan masalah percintaan remaja yang dimana pada fase ini para siswa sudah mulai mengenal perasaan suka antar lawan jenis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam sangat strategis dan menempati garda terdepan karena keduanya sebagai arus utama dalam menangkal hal-hal negatif bagi kehidupan beragama, sehingga ia berperan aktif untuk menanggulangi berbagai kekerasan dan konflik yang terjadi di lembaga pendidikan. Dengan demikian, Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam melalukan upaya untuk membimbing calon generasi penerus di masa depan agar dapat memiliki kepribadian baik dan pastinya sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan oleh agama Islam itu sendiri melalui pemahaman agama yang kuat agar tidak terjadi berbagai konflik diantara mereka. Pendahuluan Pendidikan berasal dari kata didik yang berarti memelihara atau juga melatih, Abuddin Nata, 2010. Diartikan dari melatih dan memilihara berarti memerlukan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai perantara dalam melakukan kegiatan ini, Mansir, 2020. Seperti misalnya dalam ruang lingkup lembaga pendidikan, dalam mendidik seseorang siswa diharuskan memiliki tujuan yang pasti dan terarah dalam upaya pencapaiannya. Dalam pendidikan tentu saja dibutuhkan seseorang guru yang dapat mengarahkan siswa untuk menjadi lebih baik dari pada sebelumnya, Walidaik, 2017. Hal ini dikarenakan ada beberapa guru yang dalam memberikan pendidikan kepada siswa kurang baik, sehingga menyebabkan siswa kurang mendapatkan pendidikan yang cukup. Sebagai bentuk upaya, diharapkan untuk guru di masa ini bisa memberikan pendidikan yang berkualitas kepada para siswa, Mansir, 2019. Selain untuk melahirkan generasi yang lebih baik, dari adanya pendidikan seeorang akan lebih banyak memahami bagaimana ilmu itu akan diimplementasikan pada kehidupan luar ataupun kehidupan bermasyarakat. Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam Fathani & Purnomo, 2020 memiliki arti upaya dalam mencapai tujuan keberhasilan siswa yang dimana dalam upaya tersebut seorang guru mempunyai keharusan untuk mempersiapkan para siswa untuk mengenal, memahami, mendalami hingga mengimani ajaran Islam serta menjalankan kewajiban yang memang sudah seharusnya dilakukan dalam ajaran Islam itu sendiri. Namun pengertian tersebut hanya sebatas pengertian singkat dari Pendidikan Agama Islam Mansir, 2021. Kehadiran Pendidikan Agama Islam sebenarnya untuk menuntun dan membimbing para siswa supaya tetap berada pada jalan atau jalur yang benar, Sanusi, 2013. Hal ini dikarenakan semakin lama zaman akan semakin berubah, semakin banyak pula tingkah laku atau perilaku yang kurang sesuai dengan aturan yang ada pada Pendidikan Agama Islam itu sendiri. Khususnya untuk kondisi sekarang ini, dunia sudah semakin tua dan teknologi yang berkembang sudah semakin pesat. Tentu saja ini menjadi 252 kekhawatiran para sarjana muslim dan semua sebagai calon penerus generasi muslim yang tentunya akan menjadi tanggungjawab bersama ke depannya. Dalam ajaran agama Islam, terdapat hukum tersendiri untuk menjalankan kegiatan atau mengatur norma-norma kehidupan yang sudah berlaku, Mansir, 2020. Hukum Islam yang dapat dipahami dan dipelajari yaitu berasal dari al-Qur’an dan al-Hadis. Di dalam al-Qur’an telah tertulis lengkap mengenai cerita terdahulu, perintah dan larangan, bagaimana kebiasaan orang-orang terdahulu, atau juga kebiasaan nabi dan rasul yang sudah seharusnya dijadikan sebagai contoh suri tauladan dalam menjalankan kehidupan. Terdapat banyak pesan dan moral yang telah terkandung dalam al-Qur’an. Oleh karena itu sudah menjadi hal yang seharusnya kita lakukan untuk mengimani serta melaksanakan sesuai dengan yang telah tercantum pada pedoman umat Islam hingga akhir zaman nanti. Pada dasarnya tidak ada yang sulit dalam melaksanakan berbagai macam perintah dan menjauhi berbagai larangannya, yang membuat kita sebagai umat muslim sering meniggalkan perintah dan melaksanakan larangan yang telah tertulis. Hal ini dikarenakan sebagai umat Islam sering melalaikan pedoman agamanya sendiri. Terutama saat ini kita berada dan berhadapan dengan generasi millenial atau generasi kekinian yang dimana semua informasi bisa didapatkan dengan mudah dari smartphone saja. Dalam mengaksesnya juga sangat mudah, hanya dibekali dengan kuota data ataupun smartphone yang sudah tersambung dengan wi-fi maka smartphone yang digunakan dapat disambungkan dengan akses internet tanpa batas. Berkenaan dengan hal itu, tidak sedikit informasi yang tersaji dalam internet merupakan hal yang layak dikonsumsi. Ada berbagai situs yang memberikan hal kurang senonoh untuk disajikan kepada khalayak umum. Terutama apabila anak dibawah umur juga tidak luput menikmati salura tersebut. Ini yang menjadi kekhawatiran umat Islam saat ini, orang tua memberikan anak fasilitas smartphone untuk dipergunakan dengan baik dan dapat dipergunakaan untuk belajar atau juga mengakses yang sekiranya bisa menambah ilmu pengetahuan si anak akan tetapi justru itu seakan menjadi boomerang orang tua itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan sedikit seorang anak dan masing- masing dari kita menggunakan smartphone dan internet tersebut untuk mengorek sesuatu yang seharusnya perlu dijauhi. Dari banyaknya pedoman Islam yang berlaku, seharusnya ini membuat masyarakat sebagai umat muslim semakin mudah dalam menjalankan kesehariannya. Namun kembali lagi, yang seringkali menjadi penghalang untuk taat dalam beribadah 253 yaitu terdapat pada diri sendiri. Oleh karenanya, fungsi Pendidikan Agama Islam disini untuk membenahi kekeliruan dan melengkapi kekurangan yang masih menjadi persoalan umat Islam dalam menjalankan kehidupannya Mansir, 2020. Ini menjadi kewajiban bagi pendidik saat ini terutama untuk calon pendidik yang di masa depan besok sudah harus siap untuk mendidik dan membimbing para murid atau peserta didik untuk menjadi generasi Islam yang berilmu Mansir, 2019. Tentu dalam upaya tersebut terdapat banyak ujian dan tantangan supaya target yang diinginkan dapat tercapai. Sehingga diperlukan kesiapan ilmu dan juga pendirian agar berhasil mencapai tujuan pendidikan yag maksimal. Seberapakah pentingnya Pendidikan Agama Islam dalam kehidupan? Seperti yang diketahui bahwasanya Pendidikan Agama Islam sangatlah memiliki pengaruh yang besar di dalam kehidupan seorang muslim. Hal ini dikarenakan pada dasarnya setiap manusia memerlukan pedoman untuk melanjutkan kehidupan dan mengarungi luasnya arus perjalanan hidup ini. Maka dari itu, Pendidikan Agama Islam memiliki posisi teratas dalam mengambil peran untuk menyiapkan kehidupan seorang muslim. Akan tetapi permasalahan yang sedang terjadi yakni Pendidikan Agama Islam mengalami “persaingan dengan pendidikan Barat. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi minat dalam mempelajari Pendidikan Agama Islam, bagi umat Islam Indonesia. Faktor ini beberapa diantaranya berasal dari dalam sekolah namun juga dari luar sekolah. Salah satu faktor yang berasal dari dalam sekolah yaitu dimana ketika pada sekolah negeri jam pembelajaran pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam tidak memiliki porsi yang banyak. Sehingga hal ini membuat minat peserta didik dalam mempelajari pendidikan agama Islam tidak terlalu mendalam. Apalagi asupan yang diberikan sekolah negeri yakni ilmu-ilmu umum yang menyebabkan ilmu agama Islam pada sekolah negeri tidak lagi dibutuhkan banyak. Dalam pendidikan agama Islam terdapat banyak petunjuk guna menangani setiap permasalahan yang ada. Seperti yang diketahui, terdapat berbagai macam konflik yang sudah pasti kita mengenalnya dan konflik tersebut sudah biasa terjadi pada bangku sekolah atau di lembaga pendidikan. Apakah konflik tersebut selalu mengenai kekerasan ataukah hanya sebatas konflik salah paham yang terjadi pada masing-masing siswa yang terlibat. 254 Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, Creswell et al., 2007. Karena itu kemudian, penelitian ini fokus dengan melihat berbagai konflik yang terjadi di lembaga pendidikan. Adapun data yang digunakan ada dua. Yaitu dara primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh dari jurnal nasional yang memperbincangkan tentang konflik siswa. Data ini kemudian dikumpulkan dan dianalis dengan metode deskripti-analitik. Selanjutnya data sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku referensi yang berkaitan dengan konflik siswa. Data sekunder ini untuk memperkuat hasil penelitian dan melengkapi data yang masih kurang. Dengan demikian, data-data yang sudah terkumpul kemudian diberikan kode untuk untuk melihat perbedaan dan persamaan dengan apa yang peneliti telusuri, tentu dalam hal ini adalah mengenai konflik siswa di lembaga pendidikan. Hasil dari pengkodean data-data itu selanjutnya dianalisis sesuai dengan metodologi yang kemudian melahirkan data yang akurat. Hasil dan Pembahasan Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu ilmu pendidikan yang terdapat pada setiap sekolah umum di Indonesia, Mansir, Lain halnya yang terdapat pada sekolah Islam swasta Fauziyah, 2021. Pendidikan Agama Islam terbagi secara spesifik dalam mata pelajaran seperti Fiqh, Aqidah Akhlaq, Qur’an Hadis, dan Sejarah Kebudayaan Islam. Ilmu-ilmu yang diberikan tetaplah sama yang membedakan yaitu jika pada sekolah negeri hanya diberikan nama PAI dengan penjelasan secara umum, Mansir, 2021. Pada pembelajaran PAI di sekolah Islam maka PAI akan terpecah dengan penjelasan secara detail. Terutama pembelajaran PAI pada sekolah negeri hanya diberikan waktu singkat yang dimana rata-rata waktu yang diberikan hanyalah 2 jam per satu jam pelajarannya selama seminggu. Sehingga dari alokasi waktu yang tersedia tersebut tidak memungkinan jika siswa akan mendapatkan banyaknya pengetahuan agama Islam yang memadai dan mendalam. Mungkin ini adalah salah satu faktor penyebab munculnya konflik-konflik antara siswa dengan siswa lainnya dikarenakan masing-masing dari mereka kurang memahami arti pentingnya Pendidikan Agama Islam. Karena jika dikaitkan dengan pendidikan Islam, semua yang ada pada dunia ini akan saling berkesinambungan satu sama lain. Kemudian pelaksanaan dari mata pelajaran Pendidikan Agama Islam ini sendiri merupakan program dalam mengimplementasikan pendidikan mental-spiritual dan juga 255 moral kepada para peserta didik, Sanusi, 2013. Bagaimanapun juga peran pendidik atau guru mata pelajaran Agama Islam ini juga harus tetap memantau dan juga mengupayakan untuk melakukan perbaikan konsep materi pelajarannya, Mumtahanah, 2018. Akan lebih baik lagi jika dalam menyajikan materi agama Islam ini diberikan konsep. pembelajaran yang menyenangkan supaya peserta didik tertarik untuk mempelajari lebih lanjut mengenai Pendidikan Agama Islam. Hal ini juga yang dapat peserta didik menyerap lebih mudah mengenai materi tersebut. Tujuannya adalah supaya peserta didik memahami dan mengenal lebih jauh tentang ilmu-ilmu agama Islam. Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan untuk mengenal, mengetahui, memahami dan mengikuti aturan dan ruang lingkup agama Islam, Mansir, 2020. Pendidikan berasal dari kata “didik” yang berarti memelihara atau pun melatih. Bila diartikan dari segi etimologi atau bahasa, Pendidikan Agama Islam yaitu proses dalam memberikan pengajaran atau bentuk kontribusi seorang pedidik baik dalam akhlak maupun kecerdasan berpikir. Kemudian jika diambil dari segi terminologi atau istilah, Pendidikan Agama Islam merupakan upaya sadar guna mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran supaya siswa dapat mengembangkan potensi yang ada pada dirinya untuk lebih memperdalam spiritual keagamaan, self esteem, kepribadian yang baik, kecerdasan dalam akhlak, dan juga keterampilan yang nantinya akan ia implementasikan padaa lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara. Pendidikan Islam Tarbiyah diartikan dari melatih dan memilihara berarti memerlukan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai perantara dalam melakukan kegiatan ini Mansir, 2017. Seperti halnya dalam ruang lingkup sekolah, dalam mendidik seseorang peserta didik diharuskan memiliki tujuan yang pasti dan terarah dalam upaya pencapaiannya. Dalam proses pengenalan ini terdapat banyak faktor-faktor yang masih menjadi kendala dalam melakukan proses belajar mengajar Pendidikan Agama Islam. Entah dari dalam faktor eksternal guru maupun dari media ajar yang berguna untuk membantu guru dalam memperlancar kegiatan belajar mengajar ini. Sudah bukan rahasia lagi jika minat dalam belajar Pendidikan Agama Islam di sekolah Indonesia tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan jam belajar yang diberikan juga hanya terbatas, yaitu hanya sekitar dua jam setiap mata pelajaran. Sedangkan banyaknya materi yang seharusnya diberikan tidak cukup jika hanya diberikan melalui waktu dua jam tersebut. Terutama kendala pada siswa juga seharusnya menjadi pertimbangan pendidik itu sendiri 256 dikarenakan tidak semua siswa yang ada dapat langsung memahami isi dari materi ajar itu sendiri. Belum lagi jika terdapat beberapa anak yang tidak dapat menangkap materi pembelajaran tersebut, ini menyebabkan pendidik atau guru agama Islam tersebut mengalami kebingungan sendiri. Selain tujuan tercapainya materi ajar tidak tersampaikan secara maksimal kepada siswa, ia juga menjadikan hal ini sebagai evaluasi agar kedepannya mengenai materi atau pun segala bahan ajar yang telah ia berikan kepada peserta didik dapat diterima dengan baik. Pendidikan Agama Islami memiliki istilah atau makna tersendiri dari beberapa pengertian diantaranya 1. Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan yang dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam sumber dasar ajaran Islam. 2. Pendidikan Agama Islam merupakan upaya untuk mengajarkan kepada kaum muslimin untuk menjadikan ajaran Islam sebagai pedoman hidup seseorang. 3. Pendidikan agama Islam merupakan ajaran yang sudah ada sejak zaman Rasulullah hingga saat ini masih berkembang berkaitan dengan agama Islam dan sejarah umat Islam. Dari beberapa istilah yang telah disebutkan di atas tersebut dapat ditarik benang merahnya jika Pendidikan Agama Islam merupakan upaya untuk membimbing calon generasi penerus di masa depan nanti agar dapat memiliki kepribadian baik dan pastinya sesuai dengan norma-norma yang telah ditetapkan oleh agama Islam itu sendiri Sinaga, 2017. Dari sinilah nantinya akan lahir generasi penerus yang berkepribadian baik. Jika seseorang telah memiliki kepribadian muslim pastinya nanti ia menjadikan ajaran Islam sebagai pandangan atau pedoman hidupnya Mansir, 2020. Tentunya juga dari cara berpikir dan menyikapi suatu tindakan sesuai dengan ajaran dan pandangan Islam. Dengan begitu tujuan dari Pendidikan Agama Islam merupakan sebuah upaya yang berupa bimbingan baik secara jasmani atau rohani kepada peserta didik secara Islami. Semua ini dilakukan untuk mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Seperti yang telah disebutkan dalam penjelasan sebelumnya, posisi Pendidikan Pancasila, Dewantara, 2015 dan Pendidikan Agama Islam sangatlah penting Kuswanto, 2014, yakni berkaitan dengan ilmu-ilmu Islam yang menjadi fondasi dalam kehidupan perlu dikenal dan difahami betul. Hal ini juga dikarenakan Pendidikan Agama Islam bersifat urgent penting untuk dipelajari dari mulai zaman lahirnya Islam hingga akhir zaman nanti. Di dalam Al-Qur’an sudah diperjelas pada QS. Al–Baqarah ayat 159 257 Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab Al-Qur’an 1. Ruang Lingkup Pendidikan Pancasila dan PAI di Indonesia Pada kajian Pendidikan Pancasila Nurgiansah, 2021, sejatinya lingkup dan fungsi pancasila secara spesifik yaitu yang pertama, pancasila sebagai pedoman hidup bangsa Rindjin, 2013. Indonesia bisa menjadikan pancasila sebagai pedoman dalam menyatukan hubungan dengan bangsa lain. Nilai-nilai pendidikan pancasila tidak boleh keluar atau melepaskan dari berbagai bentuk hubungan diplomatik yang terkoneksi dengan negara Indonesia terhadap negara lainnya Suharyanto, 2013. Segala sesuatu yang terkait dengan hasil dalam konteks hubungan diplomatik perlu dipertimbangkan dengan menggunakan nilai pendidikan pancasila beserta makna yang terkandung dalamnya. Kedua, yaitu pancasila sebagai jiwa Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Seluruh lembaga pendidikan maupun lembaga sosial di Indonesia baik yang besar maupun yang paling kecil seharusnya menjadikan pancasila sebagai nafas dan pedoman ideologinya. Ketiga, yaitu pancasila sebagaai kepribadian bangsa. Pancasila merupakan profile dan wajah bangsa. Sebagai profile, pancasila merupakan jawaban dari pertanyaan mengenai berbagai kepribadian Indonesia yang nyata. Dengan demikian, pendidikan pancasila selanjutnya merupakan pancasila sebagai pedoman hukum Fauzi et al., 2013. Maknanya adalah ia berfungsi sebagai sumber hukum dalam berbagai kasus di Indonesia. Hukum yang dibentuk, dimodel dan dibuat oleh seluruh pihak tidak seharusnya melupakan nilai-nilai pendidikan pancasila. Fungsi pendidikan pancasila juga sebagai cita-cita negara ini. Dasar negara Indonesia yang sudah dirancang sejak dulu oleh para pendiri bangsa memiliki pernyataan menarik yang menjadi harapan bangsa untuk diwujudkan oleh seluruh masyarakat bangsa Indonesia. Selanjutnya pendidikan pancasila berfungsi sebagai cita-cita bangsa maksudnya pancasila menjadi deskripsi serta penjelasan peta akan kemana bangsa Indonesia akan berjalan ke depannya. Dari berbagai fungsi pancasila diatas, dan tafsiran mengenai nilai pada pendidikan pancasila serta yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara hendaknya tidak melenceng dari nilai-nilai pancasila itu sendiri Amir, 2013. Sebab hal ini searah dengan nilai-nilai Pendidikan Agama Islam. Bisa dilihat secara gamblang tentang nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menurut Widjajda 2004 yaitu 258 a. Nilai Ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan dan nilai keadilan. b. Nilai ideal, nilau material, nilai spiritual, nilai pragmatis, dan nilai positif. c. Nilai etis, nilai estetis, nilai logis, nilai sosisal dan nilai religius. Melihat dan mengamati penjelasan di atas, sepertinya nilai-nilai itu sudah terpancar dan terkandung dalam Pendidikan Agama Islam. Pancasila yang tidak luput dari nilai ketuhanan, spiritual, maupun religius dapat menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia untuk tidak melupakan segi spiritual, hal tersebut juga tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Hal tersebut dengan tegas menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang menggunakan landasan kepercayaan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa. Hal serupa juga sesuai dengan perinsip yang terkandung dalam pedoman nilai-nilai karakter. Sementara itu, ruang lingkup pendidikan Agama Islam mencakup keharmonisan, Tolchah, 2020 keselarasan dan kesepadan antara hubungan manusia dengan Rabb-nya, hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan kemudian hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Tak luput juga hubungan manusia dengan makhluk Allah yang lainnya. Aspek-aspek yang terkandung pada Pendidikan Agama Islam juga menjadi penting. Ini akan menjadi perpaduan yang sama-sama saling melengkapi satu sama lain. Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam yang biasanya dilaksanakan di sekolah umum maupun sekolah swasta Islam yakni ada Aqidah Ilmu tentang keimanan, Ilmu Fiqh Ilmu yang berkaitan dengan ibadah, Al Qur’an dan Hadits, Akidah Akhlak, dan juga Tarikh Islam, Fauziyah, 2021. Dari semua cabang ilmu pendidikan, baik itu Pendidikan Pancasila Nishimura, 1995, dan khususnya Pendidikan Agama Islam yang ada di atas dapat ditarik benang merahnya bahwa secara mandiri atau tanpa harus mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah. Ini dikarenakan cabang-cabang ilmu Islam tersebut merupakan ilmu umum yang artinya semua orang dapat mempelajarinya tanpa harus memiliki syarat tertentu untuk belajar ilmu tersebut. Terutama Islam mengharuskan umatnya untuk menuntut ilmu setinggi mungkin, terlebih untuk mempelajari agama hal ini memiliki poin lebih dan memang diwajibkan. Berbeda halnya dengan mempelajari ilmu-ilmu umum yang sifatnya tidak wajib meskipun ketika kita memasuki dunia sekolah pasti kita juga diwajibkan untuk mengikuti pelajaran tersebut. Akan tetapi, dilain waktu jika memiliki waktu lebih luang alangkah baiknya jika dimanfaatkan untuk menimba ilmu agama. 259 2. Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dan Pendidikan Agama Islam Seperti yang telah diketahui bahwasanya tujuan dari pendidikan yakni sebagai proses atau upaya untuk menyiapkan masa depan anak didik untuk mencapai tujuan hidup yang tepat, Walidaik, 2017. Berbagai upaya telah dilaksanakan hanya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Terutama saat ini sudah memasuki zaman dimana semuanya hanya mengandalkan internet sebagai rutinitas kesehariannya. Sehingga ini membuat seseorang untuk lebih mawas diri dalam menggunakan dan memanfaatkan internet agar tidak tersesat dalam menggunakannya. Maka peranan pendidikan agama Islam disini supaya anak didik mampu mengendalikan perilakunya agar tidak seenaknya dalam mengambil sikap. Ini dikarenakan anak dan juga remaja rentan mengikuti atau meniru bagaimana orang sekitar dalam berperilaku. Oleh karenanya dalam Islam diberikanlah pedoman untuk hidup lebih baik supaya dapat memanfaatkan hidup yang singat in dengan sebaik-baiknya. Berkaitan dengan nilai yang dapat diimplementasikan oleh siswa, maka pembelajaran yang dapat diterima oleh siswa seperti akhlak yang baik, yang dapat diimplementasikan dengan bagaimana cara bersikap yang baik atau menanggapi perilaku seseorang dengan baik juga tanpa harus berlaku kasar atau menyakiti, Mumtahanah, 2018. Ini merupakan salah satu bentuk mengimplementasikan materi pembelajaran pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam. Kemudian untuk bentuk implementasi materi pembelajaran al-Qur’an dan hadist dapat dilakukan dengan mengamalkan perilaku yang baik sesuai dengan yang telah diperintahkan dalam firman Allah SWT yang telah tertuliskan dalam al-Qur’an, dan kemudian bentuk pengamalan dari hadis sendiri dapat dilakukan dengan melakukan perilaku-perilaku terpuji dan menjalankan sunnah nabi seperti yang telah tercantum dalam hadis-hadis nabi yang hingga saat ini masih dipakai sebagai bentuk petunjuk selain al-Qur’an. Dalam menyampaikan kebenaran juga menggunakan adab dan tutur kata yang baik, ini untuk menghindari diri sendiri dari menyakiti orang lain. Pendidikan Pancasila sangat konsen pada persoalan ini, sebab hal ini dapat mencerminkan sikap dan kepribadian seseorang sebagai anak bangsa. Dalam konteks Pendidikan Agama Islam Hidayat, 2015, apabila orang lain merasa sakit hati karena perkataan yang keluar dari lisan seseorang, maka itu akan membuat individu mendapatkan dosa karena telah membuat orang lain terluka. Maka dari itu, di dalam Pendidikan Agama Islam, adab merupakan sesuatu hal yang penting. Selain ini merupakan bentuk impelementasi dari 260 pembelajaran Akhlak juga bagian dari nilai-nilai Pendidikan Pancasila. Sebuah pepatah yang mengatakan bahwa percuma jika berilmu namun tidak memiliki adab yang baik. Maka dari itu adab sangat penting untuk diajarkan sejak dini. Hal ini selaras dengan semangat yang dimiliki Pendidikan Pancasila dalam mengajarkan kepada siswa tentang sikap hidup toleransi bermasyarakat. Selanjutnya cara mengimplementasikan nilai Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dilakukan dengan cara mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah kehidupan beragama dan berbangsa. Melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntunan syari’atnya masing-masing. Dalam ilmu fiqh umat muslim diharuskan benar-benar sejalur dengan apa yang sudah diperintahkan. Karena jika keluar dari jalur dan tidak sesuai tuntunan maka itu sama saja menentang ajaran Islam yang sudah ada sejak Islam lahir. Ini juga merupakan antisipasi untuk tidak melakukan hal yang terlarang dalam melaksanakan ibadah. Pendidikan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa way of life memiliki makna Pancasila bagian pedoman dan pegangan dalam kehidupan serta memberikan tuntunan perilaku masyarakat bagsa Indonesia dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Karena itu kemudian, sebagai sumber nilai dan etika, seperti halnya Pendidikan Agama Islam, maka nilai-nilai yang terdapat dalam pancasila sebaiknya diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan terciptanya kehidupan masyarakat harmonis, dinamis, aman, tertib dan religius. Contoh dalam konteks di sekolah adalah konflik pada siswa sering terjadi mulai pada saat masih berada di Taman Kanak-kanak hingga masa peserta didik sudah memasuki ke jenjang sekolah menengah atas. Tidak hanya sedikit permasalahan, tetapi bisa melahirkan segunung masalah. Mulai dari permasalahan kecil antar sesama teman, kesalah pahaman dengan teman kelas, atau mungkin dengan angkatan yang lebih tua atau muda dari peserta didik tersebut. Bahkan peserta didik juga melakukan kesalahan dengan guru mereka masing-masing yang tidak sengaja atau hanya sebatas salah paham. Tidak dapat dipungkiri jika datangnya permasalahan ini juga awalnya juga sebatas candaan atau masalah kecil, namun akhirnya malah berlanjut hingga memperpanjang masalah. Pada masa sekolah, siswa biasanya mulai usil atau mulai bertingkah yang kurang baik pada saat remaja, Ibda, 2012. Hal ini secara psikologis dikarenakan pada saat remaja hormon seseorang dapat dikatakan sedang tingi-tingginya. Sehingga ketika mereka mengambil keputusan dalam suatu masalah, terkadang belum berpikir secara 261 tepat, atau dalam mengambil keputusan mereka masih belum bisa bertanggungjawab dengan pilihannya. Hal ini yang menjadikan ketika di usia tersebut remaja masihlah dikatakan labil, meskipun terdapat beberapa remaja yang juga sudah bisa menempatkan tanggungjawabnya. Dari uraian di atas, mengungkap bahwa pendidikan pancasila dan pendidikan agama islam pada dasarnya memiliki muara dan misi yang sama, sehingga keduanya diperlukan dalam merespon berbagai persoalan peserta didik di lembaga pendidikan Indonesia, Mansir, 2018. Oleh karena itu, dalam Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam, keduanya menyelesaikan suatu masalah dapat dilakukan dengan cara yang baik, bijaksana, adil, dan tidak saling menyalahkan satu sama lain. Sebagai bangsa Indonesia dan umat Islam harus bisa menerima dan memahami jika terdapat perbedaan yang ada. Karena perbedaan tersebut di dalam Islam lazimnya disebut sebagai rahmat. Maka dengan adanya perbedaan itu, akan menimbulkan adanya sikap saling menghormati, menghargai pendapat atau perbedaan orang lain. Tentu dalam konteks ini yang diharapkan adalah jiwa pancasila dan motivasi keagamaan yang diperlukan. Kesimpulan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan agama islam merupakan salah satu ilmu pendidikan yang terdapat pada setiap sekolah umum di indonesia. Pendidikan Pancasila bagian dari nilai-nilai kebangsaan yang perlu ditularkan kepada peserta didik. Sementara Pendidikan agama Islam bagian dari proses untuk mengenal, mengetahui, memahami dan mengikuti aturan dan ruang lingkup agama Islam. Dari sini titik awal nantinya akan lahir generasi penerus yang berkepribadian baik, berwawasan global, cinta tanah air dan memiliki jiwa pancasila. Jika seseorang telah memiliki kepribadian muslim pastinya nanti ia menjadikan ajaran Islam sebagai pandangan atau pedoman hidupnya. Tidak hanya itu, ia juga menjadikan pancasila sebagai falsafah kehidupan bagsa. Dengan ini akan menjadikan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam juga sebagai pedoman hidup manusia dan warga bangsa Indonesia. Daftar Pustaka Abuddin Nata, A. N. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Kencana Prenada Media Group. Amir, S. 2013. Pancasila as integration philosophy of education and national character. International Journal of Scientific & Technology Research, 21, 54–57. 262 Creswell, J. W., Hanson, W. E., Clark Plano, V. L., & Morales, A. 2007. Qualitative research designs Selection and implementation. The Counseling Psychologist, 352, 236–264. Dewantara, A. W. 2015. Pancasila Sebagai Pondasi Pendidikan Agama Di Indonesia. CIVIS, 51. Fathani, A. T., & Purnomo, E. P. 2020. Implementasi Nilai Pancasila dalam Menekan Radikalisme Agama. Mimbar Keadilan, 132, 240–251. Fauzi, F. Y., Arianto, I., & Solihatin, E. 2013. Peran guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dalam upaya pembentukan karakter peserta didik. Jurnal PPKn UNJ Online, 12, 1–15. Fauziyah, N. 2021. Pengelolaan Kelas Dalam Pembelajaran Aqidah Akhlak Di Era Pandemi Covid-19 Pada Siswa Kelas V Di MI Darul Ulum Desa Benem Kecamatan Duduksampeyan Kabupaten Gresik. Universitas Muhammadiyah Gresik. Hidayat, N. 2015. Peran dan Tantangan Pendidikan Agama Islam di Era Global. Jurnal Pendidikan Agama Islam, 121, 61–74. Ibda, F. 2012. Pendidikan moral anak melalui pengajaran bidang studi PPKn dan pendidikan agama. JURNAL ILMIAH DIDAKTIKA Media Ilmiah Pendidikan Dan Pengajaran, 122. Kuswanto, E. 2014. Peranan Guru PAI dalam Pendidikan Akhlak di Sekolah. MUDARRISA Jurnal Kajian Pendidikan Islam, 62, 194–220. Mansir, F. The Response Of Islamic Education To The Advancement Of Science In The Covid-19 Pandemic Era In The Islamic Boarding Schools. AULADUNA Jurnal Pendidikan Dasar Islam, 81, 20–27. Mansir, F. 2017. Model Pendidikan Karakter Di Perguruan Tinggi Islam Studi Pada Umi Dan Uin Alauddin Makassar. Mansir, F. 2018. Diskursus Pendidikan Karakter di Peguruan Tinggi Keagamaan Islam pada Era Milenial. Tadrib, 42, 280–300. Mansir, F. 2019. Implications of Teacher Certification on Professionalism and Welfare of 21th Century PAI Teachers. Tadrib, 52, 138–152. Mansir, F. 2020. Diskursus Sains dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah dan Madrasah Era Digital. Kamaya Jurnal Ilmu Agama, 32, 144–157. 263 Mansir, F. 2020. Identitas Guru PAI Abad 21 Yang Ideal pada Pembelajaran Fiqh di Sekolah dan Madrasah. Muslim Heritage, 52, 435. Mansir, F. 2020. The Leadership of Personnel Management in Islamic Education Emerging Insights from an Indonesian University. Edukasia Islamika, 1–16. Mansir, F. 2020. The Urgency of Fiqh Siyasah In Islamic Education Learning At Madrasas And Schools. POTENSIA Jurnal Kependidikan Islam, 62, 142–154. Mansir, F. 2021. Aktualisasi Pendidikan Agama dan Sains dalam Character Building Peserta Didik di Sekolah dan Madrasah. J-PAI Jurnal Pendidikan Agama Islam, 72. Mansir, F. 2021. The Urgency of Fiqh Education and Family Role in The Middle of Covid-19 Pandemic For Students In School and Madrasah. Kamaya Jurnal Ilmu Agama, 41, 1–10. Mumtahanah, M. 2018. Peranan Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Mengatasi Perilaku Menyimpang Siswa. TARBAWI Jurnal Pendidikan Agama Islam, 301, 19–36. Nishimura, S. 1995. The development of Pancasila moral education in Indonesia. Japanese Journal of Southeast Asian Studies, 333, 303–316. Nurgiansah, T. H. 2021. Pendidikan Pancasila sebagai upaya membentuk karakter jujur. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 91, 33–41. Rindjin, K. 2013. Pendidikan pancasila untuk perguruan tinggi. Gramedia Pustaka Utama. Sanusi, H. P. 2013. Peran Guru PAI Dalam pengembangan Nuansa religius di sekolah. Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim, 112, 143–153. Sinaga, S. 2017. Problematika pendidikan agama islam di sekolah dan solusinya. WARAQAT Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 21, 14. Suharyanto, A. 2013. Peranan pendidikan kewarganegaraan dalam membina sikap toleransi antar siswa. JPPUMA Jurnal Ilmu Pemerintahan Dan Sosial Politik Universitas Medan Area, 12, 12. Tolchah, M. 2020. Problematika Pendidikan Agama Islam dan solusianya. Kanzun Books. Walidaik, A. 2017. Peran Guru PAI Dalam Mengatasi Masalah Kenakalan Remaja Studi Kasus Pada MA Darussalam Kemiri Kecamatan Subah Kabupaten Batang. IAIN SALATIGA. ... The development of the nations personality is one of the imperatives of a multicultural nation So for the application of the methods above, it is necessary to have professional educators in teaching and guide the community in achieving the creation of a character that suits the personality of the nation. This nation has a strong foundation in terms of life values, not only that, there are still many people who still have life norms that are by the foundation of this nation, namely Pancasila Mansir & Kian, 2021. But it cannot be discarded the fact that the norms that have been maintained have begun to be eroded by the development of the times and the most affected are the next generations of the nation, this fact proves that the lack of maintenance in Indonesia for the culture attached to the community. ...Firman MansirReligious and socio-cultural education is inseparable in peoples lives. Educational cultural proximity to religion and socio-cultural development become two interrelated and mutually needy sides in solving social problems of society. This research shows that there is a relationship between religious and cultural education that is interrelated, giving birth to changes and responding to the rapid development of the times, thus ushering in a reality of religious life that is full of educational values without losing the local culture. The success of a nation can be seen and measured by the younger generation of its nation in the present and the future. Regarding religious education with culture, it is hoped that there will be the best results from a new generation and have potential with good quality, who can develop the knowledge they have and apply it well in the fabric of education, society, and culture. Thus, religious and socio-cultural education provides answers to various problems in the social development of budaya to religion in the context of educational institutions, be it in schools or madrasas. Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan kultural edukatif terhadap agama dan perkembangan sosial budaya menjadi dua sisi yang saling terkait dan saling membutuhkan dalam memecahkan persoalan sosial masyarakat. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan Agama Islam dan budaya yang saling berkaitan, dengan melahirkan perubahan serta merespon berkembangnya zaman yang semakin pesat, sehingga mengantarkan pada sebuah kenyataan kehidupan beragama yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan tanpa menghilangkan budaya setempat. Berhasilnya suatu bangsa dapat dilihat serta diukur dari generasi muda bangsanya pada masa kini serta pada masa yang akan datang. Dalam hubungannya Pendidikan Agama Islam dengan budaya, sangat diharapkan adanya hasil terbaik dari generasi yang baru dan memiliki potensi dengan kualitas yang baik, yang mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan mengaplikasikannya dengan baik dalam jalinan pendidikan, sosial dan budaya. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya memberi jawaban dari berbagai permasalahan dalam perkembangan sosial budaya terhadap agama dalam konteks lembaga pendidikan, baik itu di sekolah maupun MansirThis study discussed that Islamic boarding schools as educational institutions responded to Covid 19 pandemic era through their educational system. This study aimed to examine how Islamic educational institutions responded to the advancement of science in the current Covid-19 era. The method used was the library research method with a qualitative approach by excavating, discovering, reading, explaining, and conveying implicitly or explicitly to literature from the data. The source data came from articles, journals, and books related to Islamic education, Islamic boarding schools, and the response of Islamic education to the Covid-19 pandemic. In analyzing the data, the researcher used data descriptive and content analyses. The findings indicated that Islamic boarding schools applied online learning during the Covid-19 Pandemic era. Therefore, Islamic boarding schools responded by using science technology in the learning process by developing lesson plans based on the current ini membahas pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang merespon pandemi Covid-19 melalui sistem pendidikannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana lembaga pendidikan Islam menyikapi kemajuan ilmu pengetahuan di era Covid-19 saat ini. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif dengan menggali, menemukan, membaca, menjelaskan, dan menyampaikan secara implisit atau eksplisit ke literatur dari data. Sumber data berasal dari artikel, jurnal, dan buku terkait pendidikan Islam, pesantren, dan respon pendidikan Islam terhadap pandemi Covid-19. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan deskriptif data dan analisis isi. Temuan menunjukkan bahwa pesantren menerapkan pembelajaran online selama era Pandemi Covid-19. Oleh karena itu, pondok pesantren meresponnya dengan menggunakan iptek dalam proses pembelajarannya dengan mengembangkan RPP berdasarkan situasi saat Heru NurgiansahPerubahan jaman semakin mengikis perilaku peserta didik menjadi arogan, amoral, dan intoleran. Perilaku mereka semakin menjauh dari nilai-nilai agama. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, seperti pengaruh lingkungan dan penggunaan teknologi. Tujuan penelitian ini adalah untuk membentuk karakter religius melalui Pendidikan Pancasila di kalangan peserta didik SMA PGRI 1 Kasihan Bantul. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dokumentasi, dan literasi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Pendidikan Pancasila berhasil membentuk karakter religius peserta didik. Pendidikan Pancasila memiliki peranan penting dalam menyelesaikan segala persoalan khususnya dalam pendidikan karakter. Peneliti berharap agar penelitian berikutnya bisa mendeskripsikan karakter religius sebagai formula untuk menyatukan masyarakat Indonesia yang MansirThis research explains that in 21st century, education is faces by some quite complex challenges. In this 21st century, advances in science and technology in all fields are increasingly narrowing the world. Compared to the previous century, in this century, professional teachers must have a wider range of competences. Teacher in 21st century must be able to improve personal skills, technical skills, social skills and pedagogical skills. Islamic Education teachers in 21st century are also expected to develop positive relationships with students and the school community using technology as a tool to raise teaching standards. Especially in learning Islamic religious education, in fiqh, an ideal or professional teacher is needed to form the skills of a teacher in building the enthusiasm of students in science, religion and technology. The ideal PAI teacher has the ability to develop and combine various learning strategies and methods to spur students' enthusiasm for learning because students nowadays know information very easily. AbstrakPenelitian ini menjelaskan bahwa pada abad 21 ini pendidikan dihadapkan dengan berbagai tantangan yang cukup kompleks. Pada abad 21 ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di semua bidang semakin mempersempit dunia. Dibandingkan dengan abad yang sebelumnya, pada abad ini guru yang profesional harus mempunyai kompetensi yang lebih luas. Guru abad 21 ini harus mampu meningkatkan keterampilan pribadi, keterampilan teknis, keterampilan sosial dan keterampilan pedagogik. Guru PAI abad 21 juga diharapkan dapat mengembangkan hubungan positif dengan peserta didik dan komunitas sekolah, menggunakan teknologi sebagai alat untuk meningkatkan standar pengajaran. Terutama dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, dalam fiqih guru yang ideal atau profesional sangat dibutuhkan untuk membentuk kecakapan seorang guru dalam membangun semangat peserta didik dalam hal sains, ilmu agama dan teknologi. Guru PAI yang ideal memiliki kemampuan untuk mengembangakan dan memadukan berbagai strategi dan metode belajar untuk memacu semangat belajar peserta didik, karena pada zaman saat ini peserta didik mengetahui infomasi-informasi dengan sangat MansirThis research was conducted to analyse what methods are effective in analysing the Role of Religion and Science Education in Forming Student Character Building. Basically, learning is influenced by the determination of the selection of the method used. Islamic religious education and science are different lessons so that as educators need to channel their creativity in delivering material. In this research, the writer used literature review method. So that the results of the study refer to methods that are effectively used. In the analysis of the role of religion and science education in shaping the character building of students. The result of this research is an effective method that can be used by educators in the role of religious education and science. In the formation of character building is the mix method, namely the problem-solving method, the inquiry method and the Discovery MansirLeadership is one of crucial things in an education management. It also happens in Islamic higher education institutions, especially in the case of its personnel management. This study aims to describe the leadership style in a personnel management of an Islamic higher education institution in Yogyakarta, Indonesia. This study belongs to qualitative research by using interview and observation in collecting the data. The obtained data then validated by triangulation and descriptively analyzed to produce relevant interpretation of the data. This research comes into a conclusion that the education success is not only measured from the class management, curriculum, students and so on, but also its personnel management. This study promotes that leadership in personnel management of Islamic higher Education needs good leadership style which based on the principle of siddiq, amanah, tabligh, and fathonah. It can be applied through recruitment, development, promotion and transfer, dismissal, compensation, as well as evaluation of employee MansirThis research studies about the policy of Islamic teacher education PAI about the extent of teacher certification towards the professional attitude they have towards the development of students, especially in the context of the digital age. Teacher certification especially PAI teacher can give professionalism attitude towards students in various learning activities. Meanwhile, the welfare of PAI teachers in Indonesia has increased with the emergence of the certification policy. Furthermore, it has implications for PAI teachers to be able to improve their professionalism in conducting learning obligations. Thus, the process that occurring in the interaction between educators and students can run well. In the end, the goal of Islamic education is to form a muttaqien person realized to the maximum. This research was a library library research that is research sourced from library materials using a qualitative approach. Therefore, it was an exploration of a number of data both primary and secondary data with concrete steps as follows reading and examining in depth primary data such as books which are the results of research, theses or dissertations related to this topic. Therefore, Teacher education policies in the industrial revolution era related to teacher certification especially PAI teachers need to be adjusted to the current context. Thus, teachers in Indonesia are not trapped between policy and reality on the ground faced by students. Our expectation is that there will be no more teachers in Indonesia complaining about their income, no more teachers being victimized by schools or foundations for those who have already been certified. Therefore, the teacher certification policy can make PAI teachers further increase their professionalism and SinagaPendidikan Agama Islam merupakan upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Adapun yang menjadi dasar dari Pendidikan Agama Islam adalah Al-Qur’an dan Pendidikan Agama Islam yaitu membina manusia beragama yang berarti manusia yang mampu melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam dengan baik dan sempurna, sehingga tercermin pada sikap dan tindakan dalam seluruh kehidupannya. Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesama pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah, banyak sekali muncul problematika-problematika. Berbagai problematika yang muncul, bisa berkenaan dengan masalah yang bersifat internal, maupun eksternal. Di antara solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problematika pendidikan agama Islam di sekolah adalah melalui pendekatan parsial, mengoptimalkan peranan ranah afektif dan menciptakan iklim religius di lingkungan pendidikanFirman MansirThis study aims to explain some material descriptions of fiqh siyasah covering four things, namely an explanation of the theory of fiqh siyasah in madrasas and schools, factors of fiqh siyasah, the urgency of fiqh siyasah in madrasas and schools and implementation of fiqh siyasah in madras and schools. Therefore, this study explores the theory of fiqh siyasah in madras and schools. The author describes the concept of fiqh siyasah in science, which discusses matters for the affairs of the State. The people of various forms of regulations, laws, and policies. That have been made by leaders who agree with or are in line with the basic teachings of the Sharia in order to realize the benefit of the people. In its implementation, the concept of fiqh can be seen in madrasas so that a comprehensive level of inculcating these fiqh values can be achieved. Therefore, this is very important to be taught to average students. If at the previous school level, students were only required to be able to understand the existing doctrines in fiqh. According to one or more schools, then in this madrasas an understanding of a difference of opinion or view in the prediction of fiqh learning is given. In addition, students must also be able to implement the science of fiqh. In everyday life so that, this becomes a form so that the goals of Islamic education are MansirThe changes in curriculum and everything in between such as development of Islamic education, science, development innovation, change and others are inevitability which generate new challenges in the field. Facing this reality, all element of society expects that the role of Islamic religious education which indeed has taught moral and spiritual value. Therefore the urgency of Islamic religious education in providing teachings or guidelines for social activities becomes a very urgent need. In line with the statement, we need an educators who have creativity and innovation to be able to develop learning well and professionally. No matter how good the curriculum design is, if the delivery is not good, an effective learning will certainly not work. Scientific based learning implementation in Islamic education must be conducted to face dynamic things in educational world including the digital industry development
AnekaPendekatan Studi Agama - Peter Connolly di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan.
Abstract Religious and socio-cultural education is inseparable in peoples lives. Educational cultural proximity to religion and socio-cultural development become two interrelated and mutually needy sides in solving social problems of society. This research shows that there is a relationship between religious and cultural education that is interrelated, giving birth to changes and responding to the rapid development of the times, thus ushering in a reality of religious life that is full of educational values without losing the local culture. The success of a nation can be seen and measured by the younger generation of its nation in the present and the future. Regarding religious education with culture, it is hoped that there will be the best results from a new generation and have potential with good quality, who can develop the knowledge they have and apply it well in the fabric of education, society, and culture. Thus, religious and socio-cultural education provides answers to various problems in the social development of budaya to religion in the context of educational institutions, be it in schools or madrasas. Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan kultural edukatif terhadap agama dan perkembangan sosial budaya menjadi dua sisi yang saling terkait dan saling membutuhkan dalam memecahkan persoalan sosial masyarakat. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pendidikan Agama Islam dan budaya yang saling berkaitan, dengan melahirkan perubahan serta merespon berkembangnya zaman yang semakin pesat, sehingga mengantarkan pada sebuah kenyataan kehidupan beragama yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan tanpa menghilangkan budaya setempat. Berhasilnya suatu bangsa dapat dilihat serta diukur dari generasi muda bangsanya pada masa kini serta pada masa yang akan datang. Dalam hubungannya Pendidikan Agama Islam dengan budaya, sangat diharapkan adanya hasil terbaik dari generasi yang baru dan memiliki potensi dengan kualitas yang baik, yang mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan mengaplikasikannya dengan baik dalam jalinan pendidikan, sosial dan budaya. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam dan sosial budaya memberi jawaban dari berbagai permasalahan dalam perkembangan sosial budaya terhadap agama dalam konteks lembaga pendidikan, baik itu di sekolah maupun madrasah. References Afista, Y., Hawari, R., & Sumbulah, U. 2021. Pendidikan multikultural dalam Transformasi Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Evaluasi Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 51, 128–147. Anggadwita, G., Luturlean, B. S., Ramadani, V., & Ratten, V. 2017. Socio-cultural environments and emerging economy entrepreneurship Women entrepreneurs in Indonesia. Journal of Entrepreneurship in Emerging Economies. Arif, M. 2012. Pendidikan Agama Islam Inklusifmultikultural. Jurnal Pendidikan Islam, 11, 1–18. Febrianto, M. V. 2022. Kontestasi Spiritualitas Sebagai Pendekatan Baru Kepemimpinan Pesantren. Ideas Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Budaya, 82, 699–704. Mansir, F. The Response of Islamic Education to the Advancement of Science in The Covid-19 Pandemic Era in The Islamic Boarding Schools. Auladuna Jurnal Pendidikan Dasar Islam, 81, 20–27. Mansir, F. 2021. Aktualisasi Pendidikan Agama dan Sains dalam Character Building Peserta Didik di Sekolah dan Madrasah. J-PAI Jurnal Pendidikan Agama Islam, 72. Mansir, F. 2021. Analisis Model-Model Pembelajaran Fikih yang Aktual dalam Merespons Isu Sosial di Sekolah dan Madrasah. Tadibuna Jurnal Pendidikan Islam, 101, 88–99. Mansir, F. 2021. Interconnection of Religious Education and Modern Science in Islamic Religious Learning. Edukasi Jurnal Pendidikan Islam e-Journal, 92, 229–237. Mansir, F. 2021. The Urgency of Children Education in Preventing Mass Ignorance in Indonesia. Jurnal Kependidikan Jurnal Hasil Penelitian Dan Kajian Kepustakaan Di Bidang Pendidikan, Pengajaran Dan Pembelajaran, 74, 810–821. Mansir, F. 2021. The Urgency of Fiqh Education and Family Role in The Middle of Covid-19 Pandemic For Students In School and Madrasah. Kamaya Jurnal Ilmu Agama, 41, 1–10. Mansir, F. 2021. The Leadership of Parent and Teacher in 21st Century Education. International Conference on Sustainable Innovation Track Humanities Education and Social Sciences ICSIHESS 2021, 110–115. Mansir, F., & Kian, L. 2021. Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama Islam dalam Konteks Kehidupan Beragama. Kamaya Jurnal Ilmu Agama, 43, 250–263. Mansir, F., & Syarnubi, S. 2021. Guidance And Counseling The Integration of Religion And Science In 21st Century For Character Building. At-Tarbiyat Jurnal Pendidikan Islam, 42. Mansir, F., & Wadham, B. 2021. Paradigm of HAR Tilaar Thinking About Multicultural Education in Islamic Pedagogy and Its Implication in the Era Pandemic Covid-19. Cendekia Jurnal Kependidikan Dan Kemasyarakatan, 192. Nur, I. 2018. Eksistensi Lembaga Pendidikan Islam dalam Meretas Potensi Konflik Sosial Budaya. Al-Riwayah Jurnal Kependidikan, 101, 219–242. Nurmiyanti, L. 2018. Pendidikan Agama Islam Sebagai Pondasi Sosial Budaya dalam Kemajemukan. Istighna Jurnal Pendidikan dan Pemikiran Islam, 12, 62–85. Purwanto, M. R., & Rahmah, P. J. 2021. A Study on Nglanggeran Kampung Pitu Sociologically and Anthropologically Perspectives. Ideas Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Budaya, 74, 45–50. Qolbi, S. K., & Hamami, T. 2021. Impelementasi Asas-asas Pengembangan Kurikulum terhadap Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Edukatif Jurnal Ilmu Pendidikan, 34, 1120–1132. Suharto, T. 2017. Indonesianisasi Islam Penguatan Islam Moderat dalam Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Al-Tahrir Jurnal Pemikiran Islam, 171, 155–178. Turaev, A. S. 2020. The Ideology of Neo-Conservatism The Role of Socio-Cultural Factors. ПЕДАГОГИКА. ĐŸĐ ĐžĐ‘Đ›Đ•ĐœĐ«, ĐŸĐ•Đ ĐĄĐŸĐ•ĐšĐąĐ˜Đ’Đ«, ИННОВАЩИИ, 29–31. Ugwu, N. U., & de Kok, B. 2015. Socio-cultural factors, gender roles and religious ideologies contributing to Caesarian-section refusal in Nigeria. Reproductive Health, 121, 1–13. Yasmin, M., & Sohail, A. 2018. Socio-cultural barriers in promoting learner autonomy in Pakistani universities English teachers beliefs. Cogent Education, 51, 1501888. Yunus, Y. 2020. Sosial-Budaya Harmonisasi Agama dan Budaya dalam Pendidikan Toleransi. Kalam Jurnal Agama dan Sosial Humaniora, 82, 1–26. Zafi, A. A. 2018. Transformasi Budaya Melalui Lembaga Pendidikan Pembudayaan dalam Pembentukan Karakter. Al Ghazali, 11, 1–16. Zamani-Farahani, H., & Musa, G. 2012. The Relationship Between Islamic Religiosity and Residents Perceptions Of Socio-Cultural Impacts of Tourism In Iran Case Studies of Sarein and Masooleh. Tourism Management, 334, 802–814. Zulaikhah, S. 2019. Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam Dsi SMPN 3 Bandar Lampung. Al-Tadzkiyyah Jurnal Pendidikan Islam, 101, 83–93.
Sejalandengan perkembangan budaya dan pola berpikir masyarakat yang materialistis dan sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama belum diupayakan secara optimal. Agama dipandang sebagai salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan dengan aspek pribadi dan dalam bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi salah satu . 444 387 290 241 346 51 55 426

pendekatan kultural edukatif terhadap agama dan perkembangan sosial budaya